
Oleh: Muhammad Ilham Maulana, Mahasiswa Program Pendidikan Ulama Tarjih UMM
PWMU.CO – Dalam kehidupan mahasiswa yang sering kali penuh tekanan mulai dari tugas menumpuk, skripsi yang tak kunjung rampung, hingga pencarian jati diri. Banyak dari kita memandang ibadah haji sebagai sesuatu yang jauh, milik mereka yang sudah mapan secara finansial atau usia.
Padahal, warisan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang menjadi landasan ritual haji menyimpan pesan yang dalam dan sangat relevan bagi para mahasiswa dan gen Z yang sedang meraba-raba arah hidup.
Fenomena ini menarik untuk dikaji secara kritis, mengingat bahwa tujuan utama dari ibadah haji dalam Islam bukanlah sekedar untuk menjadi simbolisme saja, melainkan pencapaian spiritual yang mendalam yaitu haji mabrur.
Nabi Ibrahim bukan hanya seorang nabi, ia adalah figur pencari. Sejak muda, ia mempertanyakan keyakinan kaumnya, menolak menyembah berhala, dan dengan berani mendobrak kemapanan berpikir yang menyesatkan. Allah SWT berfirman dalam al-Quran:
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصْنَامًا اٰلِهَةًۚ اِنِّيْٓ اَرٰىكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ٧٤
“Ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, ‘Mengapa engkau menjadikan berhala sebagai tuhan?’“. (QS. al-Anam: 74).
Keberanian berpikir kritis inilah yang seharusnya menjadi napas intelektual mahasiswa hari ini. Di tengah banjir informasi dan opini, kita butuh keteguhan untuk menyaring kebenaran sebagaimana Ibrahim melawan arus demi keyakinan akan tauhid.
Haji adalah pewujudan nyata dari ketauhidan itu. Saat seseorang berhaji, ia menanggalkan identitas duniawinya: tak ada lagi gelar akademik, jabatan, atau bahkan popularitas. Semua memakai kain ihram putih yang sama.
Di hadapan Ka’bah, semua manusia setara. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, atau kulit putih atas kulit hitam, kecuali dalam takwa.” (HR. Ahmad).
Pesan kesetaraan ini begitu penting untuk mahasiswa yang hidup di zaman kompetitif yang sering mengukur nilai diri dari IPK, CV, atau validasi media sosial. Haji mengajarkan kita bahwa nilai sejati ada dalam ketulusan hati, bukan pencitraan.
Rangkaian ibadah haji juga mengajak kita untuk meresapi kembali makna pengorbanan. Ketika Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail, keduanya tidak ragu tunduk pada kehendak Allah.
فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ ١٠٣
“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya,” (QS. As-Saffat: 103).
Ini bukan sekadar kisah ketaatan, tapi pelajaran tentang keberanian mengorbankan ego, keinginan pribadi, bahkan rasa takut, demi nilai yang lebih tinggi.
Bagi mahasiswa, ini bisa berarti menunda kesenangan sesaat demi belajar, menolak jalan pintas seperti menyontek, atau memilih jalan sunyi dalam membela kebenaran di tengah mayoritas yang apatis.
Tak kalah penting, kisah Hajar yang berlari antara Shafa dan Marwah adalah simbol perjuangan seorang perempuan yang ditinggal suami di padang gersang, namun tetap yakin bahwa Allah takkan membiarkannya.
Dari kesungguhan itu, air Zamzam memancar. Bukankah ini sangat dekat dengan kehidupan mahasiswa yang sering merasa sendirian dalam perjuangan?
Terkadang kita merasa bingung, tidak tahu arah, tetapi kisah Hajar mengajarkan: teruslah bergerak, jangan diam, karena pertolongan Allah datang pada mereka yang berusaha.
Haji juga mengajarkan pentingnya refleksi. Thawaf yang mengelilingi Ka’bah bisa dipahami sebagai perjalanan hidup yang berporos pada satu pusat: Allah.
Dalam kehidupan kampus yang penuh agenda dan ambisi, kita butuh momen jeda, merenungi: apakah yang kita kejar benar-benar mendekatkan kita pada makna hidup? Apakah kita sedang membentuk diri menjadi manusia yang bermanfaat, atau hanya sibuk mengejar validasi kosong?
Menariknya, Rasulullah SAW justru menganjurkan untuk menyegerakan haji bagi yang mampu, bukan menundanya sampai tua: “Segeralah melaksanakan haji, karena salah satu dari kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya nanti.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Artinya, ibadah haji bukan sekadar penutup karier religius seseorang, tapi bisa menjadi titik tolak perubahan hidup yang dimulai sejak muda.
Mahasiswa yang memiliki kemampuan—baik fisik, finansial, atau akses—sudah sepatutnya mulai mempertimbangkan haji sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya, bukan sekadar mimpi masa pensiun.
Pada akhirnya, menapak warisan Ibrahim bukan berarti hidup di masa lalu, tapi menghidupkan kembali semangatnya di masa kini. Dalam kehidupan kampus yang serba cepat, penuh tantangan, dan mudah mengikis nilai-nilai luhur, haji menawarkan ruang untuk kembali kepada Tuhan, kepada diri sendiri, dan kepada fitrah kita sebagai hamba.
Maka bagi mahasiswa modern, haji bukan sekadar rukun Islam yang kelima. Ia adalah panggilan untuk menyusun ulang prioritas hidup, membangun fondasi spiritual yang kuat, dan menapaki jalan Ibrahim dengan hati yang sadar, pikiran yang terbuka, dan jiwa yang siap untuk berkorban.
Sebagai penutup, penulis kembali menegaskan bahwasanya inti dari pemahasan ini adalah ibadah Haji bukanlah sekadar perjalanan fisik ke tanah suci, melaikan ia adalah simbol dari perjalanan jiwa menuju kedewasaan spiritual, ketundukan mutlak pada Allah, dan perjuangan untuk menjadi manusia yang bermakna.
Nabi Ibrahim telah memberi contoh nyata bagaimana iman tidak boleh berhenti di lisan, tapi harus diterjemahkan dalam tindakan meski berat, meski tidak populer.
Sebagai aktivis kampus dan bagian dari Gen Z, kita memiliki energi, idealisme, dan keinginan untuk membangun dunia yang lebih baik. Tapi jangan lupa, semangat itu perlu dituntun oleh nilai-nilai spiritual yang kokoh agar tidak kehilangan arah.
Warisan Nabi Ibrahim dan pelajaran dari ibadah haji adalah bekal terbaik untuk mengisi jiwa di tengah perjuangan hidup.
Haji bukan sekadar ritual ia adalah panggilan jiwa untuk menjadi manusia yang lebih ikhlas, berani, dan bertauhid, sebagaimana Ibrahim, sang pejuang keimanan.(*)
Editor Zahrah Khairani Karim