
Oleh: Dr. Ahmad Fathoni Lc MA – Sekretaris Jenderal PCIM Malaysia & Pengajar di salah satu Sekolah International, Kuala Lumpur, Malaysia.
PWMU.CO – Sudah terlalu lama pendidikan Indonesia terjebak dalam ilusi angka: nilai ujian, peringkat nasional, hingga skor PISA. Masyarakat, termasuk institusi pendidikan, seringkali menilai keberhasilan siswa dan sekolah dari hasil akhir, bukan dari proses pembentukan nalar, karakter, dan nilai kehidupan.
Dalam situasi seperti ini, gagasan tentang deep learning atau pembelajaran mendalam yang dikedepankan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, layak disambut sebagai angin segar sekaligus peta jalan revolusioner.
Dalam berbagai pidato dan wawancaranya, Prof. Mu’ti menekankan bahwa pembelajaran tidak boleh hanya menekankan pada apa yang diketahui, tetapi harus menumbuhkan bagaimana seseorang berpikir, mengapa ia perlu berpikir, dan apa kontribusinya bagi sesama. Gagasan ini membawa pendidikan kembali pada akar filosofisnya: membentuk manusia merdeka yang sadar, bertanggung jawab, dan berdaya cipta.
Apa Itu Deep Learning dalam Konteks Pendidikan?
Secara sederhana, deep learning dalam konteks pendidikan adalah proses pembelajaran yang tidak sekadar menambah pengetahuan, tetapi membangun pemahaman mendalam, keterampilan berpikir kritis, dan refleksi nilai. Gagasan ini bukan hal baru, tetapi ia kembali menemukan urgensinya saat dunia pendidikan menghadapi krisis relevansi: lulusan banyak tahu, tetapi tak mampu berpikir; memiliki ijazah, tetapi miskin daya cipta.
Secara akademik, menurut Marton dan Säljö (1976), pembelajaran mendalam ditandai oleh:
‣ Keingintahuan intrinsik terhadap makna.
‣ Keterkaitan antarkonsep.
‣ Kemampuan menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman nyata.
‣ Refleksi terhadap nilai, bukan sekadar informasi.
Dalam konteks Islam, pendekatan ini sangat sejalan dengan semangat tafaqquh, tadabbur, dan hikmah dalam al-Quran di mana ilmu tidak boleh berhenti di permukaan, tapi harus mengakar ke hati dan melahirkan amal.
Gagasan Progresif Abdul Mu’ti: Mengubah Arah Pendidikan Nasional
Prof. Abdul Mu’ti bukan hanya seorang akademisi, tapi juga tokoh organisasi Islam yang lama berkecimpung dalam dunia pendidikan formal dan nonformal. Gagasannya tentang deep learning bukan sekadar adopsi konsep Barat, tetapi bentuk reaktualisasi nilai-nilai pendidikan Islam dalam sistem modern. Beberapa prinsip penting yang beliau tekankan antara lain:
‣ Pendidikan harus mengembangkan daya pikir kritis dan kreatif, bukan hanya penghafal cepat.
‣ Karakter bukanlah mata pelajaran tambahan, tetapi ruh dari semua proses pembelajaran.
‣ Guru bukan sekadar pengajar, tetapi fasilitator pertumbuhan nalar dan spiritualitas siswa.
‣ Sekolah bukan pabrik nilai, tetapi ekosistem pembelajaran yang manusiawi dan merdeka.
Inilah arah revolusioner yang ditawarkan: Dari sistem pendidikan yang mekanistik menuju pendidikan yang memanusiakan.
Mengapa Deep Learning Penting?
a. Tantangan Zaman yang Kompleks
Di era disrupsi teknologi dan kecerdasan buatan, siswa tidak cukup hanya menjadi penghafal materi. Dunia membutuhkan generasi yang mampu:
‣ Berpikir kritis di tengah banjir informasi.
‣ Menganalisis, bukan hanya menerima.
‣ Berkolaborasi, bukan bersaing secara individualistik.
‣ Menyelesaikan masalah yang kompleks dengan empati dan nilai kemanusiaan.
b. Krisis Nalar dan Karakter
Laporan berbagai lembaga riset menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan infrastruktur pendidikan, namun terjadi penurunan dalam kemampuan membaca kritis, menulis reflektif, serta tingginya intoleransi di kalangan pelajar. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran masih dangkal.
Langkah Strategis Implementasi Deep Learning
Untuk mewujudkan deep learning, perlu transformasi di beberapa aspek:
a. Reformasi Kurikulum
Kurikulum perlu dirancang bukan hanya untuk mengejar target kompetensi kognitif, tetapi untuk:
‣ Mengintegrasikan nilai (ethics), ilmu (science), dan keterampilan (skills).
‣ Menghapus dikotomi ilmu dan agama.
‣ Menjadikan setiap mata pelajaran sebagai sarana pembentukan karakter.
b. Revitalisasi Peran Guru
Guru perlu dibekali dengan pelatihan berkelanjutan agar:
‣ Mampu merancang pembelajaran berbasis proyek (project-based learning).
‣ Mendorong diskusi terbuka dan berpikir reflektif.
‣ Menjadi coach dan mentor, bukan semata instruktur.
c. Asesmen Autentik
Sistem evaluasi perlu direvisi agar:
‣ Menilai proses berpikir, bukan hanya hasil akhir.
‣ Menghargai keberagaman cara belajar.
‣ Mengembangkan asesmen berbasis portofolio, unjuk kerja, dan refleksi diri.
d. Lingkungan Belajar yang Berdaya Sekolah perlu dikelola sebagai:
‣ Komunitas pembelajar (learning community).
‣ Ruang inklusif yang mendorong dialog, ekspresi, dan pertumbuhan jiwa.
‣ Ekosistem yang terintegrasi dengan keluarga dan masyarakat.
Tantangan Nyata di Lapangan
Mewujudkan deep learning bukan hal mudah. Beberapa tantangan konkret meliputi:
a. Kesenjangan Kompetensi Guru.
Masih banyak guru yang terbiasa mengajar dengan pendekatan verbalistik dan dominasi ceramah. Pelatihan guru yang bersifat satu arah pun tak cukup. Diperlukan pelatihan transformatif dan pendampingan berkelanjutan.
b. Ketimpangan Sarana dan Akses
Di banyak daerah, infrastruktur sekolah masih minim. Teknologi yang seharusnya mendukung deep learning justru menjadi penghambat karena tidak merata.
c. Budaya Sekolah yang Otoriter
Banyak sekolah masih menerapkan pendekatan otoriter, tidak memberi ruang inisiatif siswa. Budaya takut salah dan patuh buta membuat deep learning sulit tumbuh.
d. Politik Pendidikan yang Fluktuatif
Perubahan kebijakan pendidikan yang terlalu cepat dan sering berubah menjadikan proses reformasi sering tidak tuntas. Akibatnya, gagasan besar sering gagal diimplementasikan secara konsisten.
Pendidikan Islam klasik sebenarnya sangat kaya akan nilai-nilai deep learning. Dalam tradisi Al-Ghazali, Ibn Sina, hingga Ibn Khaldun, pendidikan bukan hanya soal ilmu tetapi juga hikmah, adab, dan tazkiyah. Proses pendidikan harus menyentuh akal, hati, dan jiwa.
Konsep tarbiyah dalam Islam menekankan takwil (pemahaman mendalam), bukan sekadar ta’lim (penyampaian materi). Maka mengarusutamakan deep learning dalam sistem pendidikan nasional bukan hanya mengikuti tren global, tetapi justru kembali ke akar filosofis pendidikan Islam itu sendiri.
Catatan Kritis dan Rekomendasi
Gagasan Prof. Abdul Mu’ti patut diapresiasi sebagai langkah strategis dan progresif. Namun, ada beberapa catatan penting:
‣ Pemerintah perlu membangun roadmap jangka panjang dengan indikator capaian yang terukur dan realistis.
‣ Koordinasi lintas lembaga (Kemendikbud-Kemenag-LPTK) sangat penting agar transformasi ini merata dan sistemik.
‣ Pentingnya riset dan evaluasi berbasis data untuk mengukur efektivitas penerapan deep learning di berbagai konteks sekolah.
‣ Perlu gerakan masyarakat sipil, ormas Islam, dan komunitas pendidikan untuk ikut mengawal, memberi masukan, dan melibatkan diri dalam proses transformasi ini.
Gagasan deep learning yang dikembangkan Prof. Abdul Mu’ti merupakan titik balik penting dalam wacana pendidikan nasional. Ia menawarkan pendekatan yang holistik, kontekstual, dan bernilai. Pendidikan Indonesia tidak boleh lagi berjalan di tempat; Ia harus menjadi gerakan pencerahan bangsa, bukan sekadar mesin produksi tenaga kerja.
Pendidikan yang berkarakter, berdaya cipta, dan bernalar kuat adalah modal utama untuk masa depan Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Maka sekaranglah saatnya kita berani melangkah menuju pembelajaran yang lebih dalam, lebih manusiawi, dan lebih transformatif.
Sebagaimana pesan Ki Hadjar Dewantara: “Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.” Maka marilah kita tumbuhkan bukan hanya ilmu, tetapi juga hikmah dalam jiwa anak-anak kita melalui pembelajaran yang menyentuh makna. (*)
Editor Ni’matul Faizah