
Oleh: Arief Hanafi (Guru Sosiologi SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo)
PWMU.CO – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus menggulirkan transformasi besar dalam dunia pendidikan Indonesia melalui pendekatan pembelajaran mendalam (PM). Menurut Abdul Mu’ti pendekatan ini tidak hanya teknik belajar yang menekankan pada hafalan, tetapi lebih kepada pemahaman dan pemikiran kritis yang berkelanjutan. PM menuntut siswa aktif
mengonstruksi pengetahuan, berpikir kritis, serta mampu bekerja kolaboratif. Dengan cara ini, siswa tidak hanya menghafal materi, tetapi juga memahami makna dan relevansi pengetahuan yang mereka pelajari.
Ikhtiar Kemendikdasmen dalam merancang PM patut diapresiasi. Namun, dalam kerangka kajian sosiologi pendidikan, pendekatan ini tidak serta merta dapat dianggap solusi yang universal. Terdapat sejumlah aspek krusial yang harus dicermati, di antaranya berkaitan dengan modal budaya,
relasi kuasa dalam ruang kelas, serta kesenjangan akses terhadap sumber belajar di berbagai lingkungan pendidikan.
Secara teoritis, PM sangat ideal di atas kertas, namun dalam tataran praktik perlu dipertimbangkan aspek modal sosial dan budaya siswa. Pierre Bourdieu (1986) dalam bukunya The Form of Capital mengungkapkan kesenjangan dalam pendidikan kerap kali bukan disebabkan karena kemampuan individu, melainkan karena perbedaan budaya. Kebiasaan berpikir, bahasa, dan nilai-nilai sosial yang diwariskan dalam keluarga, sangat memengaruhi sejauh mana siswa mampu merespons pendekatan pembelajaran yang menuntut pemahaman mendalam.
Sementara itu, Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of The Opperessed menawarkan pandangan bahwa pendidikan seharusnya menjadi ruang dialogis yang membebaskan, bukan menindas. Maka jika PM benar-benar di implementasikan dalam ruang-ruang kelas ia harus berpihak pada
pengalaman hidup siswa, terutama berasal dari kelompok tertindas. Dengan pengalaman konkret dalam realitas sosial siswa, maka kesadaran kritis akan terbangun.
Bukan Sekadar Metode Teknis
Menurut hemat penulis, PM tidak cukup hanya berfokus pada efektivitas metode belajar di ruang kelas, melainkan menyentuh pada dimensi struktural dan kultural pada setiap siswa. Artinya, PM harus berorientasi pada pendidikan transformatif yang lebih luas. Diperlukan afirmasi terhadap
siswa dari latar belakang terpinggirkan, baik dalam bentuk penyediaan sumber belajar yang merata, pelatihan guru yang mengedepankan kepekaan sosial-budaya, hingga kurikulum yang memberi pengalaman hidup siswa sebagai bahan belajar yang otentik.
Maka, langkah nyata yang dapat dilakukan sekolah di antaranya adalah, pertama, sekolah perlu mengadakan pemetaan awal terhadap latar belakang sosial dan kesiapan belajar siswa. Hal ini untuk mengidentifikasi tantangan struktural yang mereka hadapi, seperti keterbatasan akses teknologi, hingga persoalan keluarga siswa. Data ini menjadi dasar untuk merancang strategi belajar yang adaptif.
Kedua, pelatihan untuk para guru harus menjadi agenda prioritas. Kegiatan ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan di bidang pedagogis saja. Lebih dari itu guru harus memahami teknik dasar sosiologis dan kultural siswa. Hal tersebut bertujuan agar guru mampu merancang strategi
pembelajaran yang inklusif, empatik dan berorientasi pada pendidikan transformatif.
Ketiga, pembelajaran berbasis pada pengalaman konkret siswa. Hal ini bisa dilakukan melalui kegiatan diskusi, penugasan berbasis masalah, dan refleksi mendalam yang tidak hanya menguji pada kemampuan hafalan tapi juga mendorong pemahaman mendalam. Siswa dilatih untuk mengaitkan materi pelajaran dalam konteks kehidupan.
Keempat, perlu dibangun kolaborasi aktif antara sekolah, orang tua dan komunitas. Lingkungan sekitar siswa dapat menjadi sumber belajar yang relevan, mulai dari isu sosial, budaya lokal hingga praktik kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan yang sistematis dan terprogram seperti ini, PM
akan lebih bermakna, kontekstual dan memberdayakan.
Efektivitas PM
Efektivitas PM tidak hanya ditentukan oleh seberapa canggih metode ajarnya, namun seberapa adil dan inklusif sistem pendidikan dalam menampung keberagaman latar belakang siswa. Sebab PM bukan sekadar strategi teknis yang mengandalkan daya analisis dan evaluasi, melainkan pendekatan yang menuntut kesiapan struktural, mulai dari kesiapan guru hingga kondisi sosial-ekonomi siswa.
Tanpa kesadaran adanya ketimpangan modal sosial dan budaya, PM berisiko menjadi retorika kosong. Ketika pendekatan ini diterapkan tanpa mempertimbangkan latar belakang ekonomi, kultural dan akses pendidikan beragam, maka hal itu akan mempertajam jurang ketimpangan yang
telah ada.
Di sinilah urgensinya bahwa PM tidak cukup dilihat sebagai metode pendidikan yang progresif secara teknis, melainkan harus menjadi jalan untuk membebaskan siswa dari belenggu ketertindasan struktural. Sebagaimana Freire mengatakan pendidikan tidak boleh menjadi alat reproduksi
ketimpangan, tetapi harus menjadi sarana transformasi sosial. Semoga! (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah