
PWMU.CO — Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan Allah. Bahkan, Muharram satu-satunya bulan yang disandarkan langsung kepada Allah, dengan sebutan Syahrullah — bulannya Allah. Demikian mukadimah khutbah Hafiz el-hudaifie saat menyampaikan khutbah di masjid An-Nur Muhammadiyah Sidoarjo, Jumat (20/6/2025).
“Tak ada sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah kecuali memiliki kemuliaan yang luar biasa. Sebagaimana al Quran disebut Kitabullah, Ka’bah disebut Baitullah, maka Muharram juga merupakan bulan yang suci,” ujar Hafiz.
Ia juga menyoroti keutamaan puasa di bulan Muharram, merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Al-Muharram,” tambah Hafiz.
Puasa Asyura
Ia mendorong jamaah untuk menunaikan puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram.
Tak hanya membahas sisi amalan, Hafiz juga mengupas sejarah penetapan kalender Hijriyah yang dicetuskan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Meskipun hijrah Nabi terjadi di bulan Rabiul Awwal, para sahabat sepakat menjadikan Muharram sebagai awal tahun karena persiapan hijrah dan pengiriman sahabat telah dimulai sejak bulan itu. Selain itu, Muharram menjadi awal yang spiritual karena jatuh setelah bulan haji, saat umat kembali dari ibadah dalam keadaan bersih dari dosa.
Namun, dalam khutbahnya, Hafiz juga menyampaikan keprihatinan terhadap maraknya penyimpangan akidah yang terjadi di bulan suci ini. Ia mengkritisi praktik sebagian masyarakat yang masih mengaitkan Muharram atau “Suro” sebagai bulan sial, serta ritual-ritual seperti memandikan keris dan memuja pusaka.
“Alih-alih menjadikan Muharram sebagai bulan memperbarui iman, sebagian umat justru terjebak dalam takhayul dan ritual warisan syirik. Bahkan ada yang percaya kotoran kerbau dalam kirab budaya membawa berkah. Ini sangat menyedihkan,” tegas Hafiz dalam khutbahnya.
Ia menjelaskan bahwa anggapan bulan Muharram sebagai bulan sial tidak berasal dari ajaran Islam, melainkan dari pengaruh doktrin Syiah yang mengaitkannya dengan tragedi wafatnya Sayyidina Husein di Karbala. Ia mengingatkan, dalam Hadis Qudsi, Allah murka kepada mereka yang mencela waktu karena sejatinya mencela waktu sama dengan mencela Allah.
Khutbah Jumat ditutup dengan seruan kepada jamaah untuk menjadikan Muharram sebagai momentum hijrah — tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan finansial. “Mari hijrah dari harta haram menuju yang halal, dari syirik menuju tauhid, dari lalai menuju istiqamah,” pungkas Hafiz. (*)
Penulis Moh. Ernam Editor Amanat Solikah