
Oleh Nevy Selia Jacinda – Mahasiswa UM Surabaya
PWMU.CO – Katanya kita saudara? Saudara sesama Muslim? Saudara karena hubungan darah? Atau saudara karena kita bertemu dan tinggal di bawah atap yang sama—di panti asuhan dan sekolah dasar ini? Kalau memang benar kita saudara, mengapa masih ada yang saling menyakiti?
Kita tidak bisa memilih dari keluarga mana kita berasal, bagaimana takdir membentuk jalan hidup kita, atau kehidupan seperti apa yang akan kita jalani. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha dan terus berdoa kepada Allah SWT agar setiap langkah kita selalu dalam petunjuk-Nya. Bahkan semesta pun punya caranya sendiri untuk mengajarkan manusia tentang rasa syukur atas apa yang mereka alami.
Namun, apakah persaudaraan hanya sekadar takdir? Kekeluargaan bukan hanya soal tinggal di tempat yang sama atau memiliki status sosial yang serupa. Persaudaraan sejati lahir dari empati dan kepedulian—nilai yang ditanamkan Allah SWT dalam hati setiap manusia.
Kalau benar kita saudara, mengapa masih ada yang menghina, mengolok, bahkan mencela? Apakah fisik, materi, atau kesalahan seseorang layak dijadikan ukuran untuk menentukan apakah dia pantas dihormati?
Saya menulis ini dengan hati. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang sering saya lihat dan alami sendiri. Salah satu persoalan yang paling nyata terjadi di lingkungan saya: perundungan di panti asuhan dan sekolah dasar.
Saudara macam apa yang tega membully saudaranya sendiri? Saya tahu, tidak semua anak melakukannya. Tapi saya pernah mendengar langsung ada anak yang mengakui pernah membully temannya sendiri. Sementara itu, sang korban tampak murung. Ia kehilangan kepercayaan diri. Wajahnya muram, hatinya kecil. Padahal, bukankah kita seharusnya saling menguatkan, bukan menjatuhkan?
Kita semua hidup dalam kondisi yang sama, berbagi ruang dan harapan yang serupa. Tapi, mengapa masih ada yang saling menyakiti?
Mengapa Perundungan Terjadi?
Perundungan tidak muncul begitu saja. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah latar belakang dan pola asuh sebelum anak-anak masuk ke panti atau sekolah. Beberapa dari mereka mungkin pernah mengalami kekerasan atau pengabaian, dan tanpa sadar mereka membawa luka itu—lalu mengulang pola yang sama kepada orang lain.
Faktor lain adalah persaingan dan keinginan untuk diakui. Tinggal di panti dan belajar di sekolah berarti harus berbagi segalanya—dari makanan, tempat tidur, sampai perhatian dari pengasuh atau guru. Tidak semua anak mampu menerima itu dengan lapang dada.
Ada yang merasa harus terlihat lebih unggul, dan menjatuhkan yang lain menjadi cara untuk menunjukkan eksistensi dirinya.
Kurangnya pembinaan mental dan emosional juga sangat berperan. Tanpa bimbingan yang cukup, anak-anak tumbuh tanpa memahami arti empati dan kebersamaan. Perundungan bisa menjadi pelarian bagi mereka yang merasa tidak punya kendali atas hidupnya.
Dampak Perundungan: Luka yang Tak Terlihat
Perundungan bukan sekadar tamparan atau ejekan. Ini adalah luka di hati yang bisa terbawa seumur hidup. Bagi korban, perundungan bisa menghancurkan rasa percaya diri, menumbuhkan perasaan tidak berharga, bahkan meninggalkan trauma yang dalam. Yang lebih menyakitkan, ketika itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi rumah dan tempat belajar, rasa aman pun sirna.
Namun, pelaku perundungan pun sebenarnya sedang berjuang. Sering kali mereka melakukan itu karena ingin menutupi ketakutan atau kekurangan dalam diri mereka sendiri.
Tapi benarkah, menyakiti orang lain bisa menyembuhkan luka di hati sendiri?
Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Jika panti asuhan adalah rumah, dan sekolah adalah tempat kita menimba ilmu, maka setiap penghuninya seharusnya menjadi keluarga—yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan.
Kita perlu menanamkan nilai-nilai kekeluargaan Muhammadiyah, seperti ta’awun (saling tolong menolong) dan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim). Nilai-nilai ini tidak cukup hanya dihafal atau diajarkan secara teori, tapi harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari—di panti maupun di sekolah.
Kita juga harus menyadari bahwa setiap tindakan punya dampak. Setiap kata dan sikap kita meninggalkan jejak dalam hidup orang lain. Hal yang kita anggap sekadar bercanda, bisa jadi adalah luka yang dalam bagi orang lain.
Penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kepedulian. Persaudaraan tidak boleh menjadi sekadar slogan. Ia harus hidup dan nyata dalam perilaku kita. Setiap anak berhak merasa diterima, dihargai, dan didengar—tanpa takut, tanpa tekanan.
Kita juga butuh pendidikan karakter dan pendampingan psikologis. Panti bukan sekadar tempat tinggal. Sekolah bukan hanya tempat belajar pelajaran, tetapi juga tempat belajar tentang kehidupan. Di sinilah anak-anak seharusnya dibimbing untuk memahami arti kasih sayang dan kebersamaan. Agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan penuh empati.
Harapan saya tetap sama: Persaudaraan sejati, bukan sekadar kata-kata.
Jadi, Benarkah Kita Saudara?
Persaudaraan sejati bukan tentang tinggal di atap yang sama, berbagi makanan, atau memakai seragam yang sama. Persaudaraan sejati adalah tentang bagaimana kita memperlakukan satu sama lain.
Keluarga bukan sekadar tempat tinggal. Keluarga adalah tempat di mana hati merasa aman, diterima, dan dicintai. Jika kita ingin menciptakan rasa kekeluargaan yang sesungguhnya, maka mulailah dari diri sendiri—dengan memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. (*)
Editor Amanat Solikah