
Penulis: Ahmad Rusdi
PWMU.CO – Manusia diciptakan oleh Allah SWT terdiri atas dua anasir. Anasir yang pertama dinamakan tubuh atau badan, sedangkan anasir kedua disebut jiwa atau ruh.
Jikalau boleh diibaratkan, tubuh atau badan adalah wadah atau tempat, maka jiwa atau ruh adalah isinya. Oleh karena itu, orang mati itu sebenarnya yang mati hanya badan atau wadahnya, sedangkan isinya—jiwa atau ruhnya—tetap hidup dan kembali kepada Yang Mencipta.
Apabila berbicara soal jiwa hidup manusia, maka jiwa itu mempunyai pertalian atau hubungan, sedangkan pangkal tali terletak pada diri manusia itu sendiri.
Tali perhubungan itu mempunyai dua cabang. Cabang yang pertama menghadap ke atas, yaitu kepada Allah SWT. Dalam bahasa agama disebut dengan ḥablum minallāh, sedangkan cabang kedua tertuju kepada masyarakat. Dalam istilah agama disebut dengan ḥablum minannās.
Dalam Rukun Islam, kedua tali itu dijaga betul agar tidak putus, sebab bila salah satunya putus maka keberagamaan seseorang jalannya pincang.
Mari kita perhatikan Rukun Islam yang bernama syariat salat. Salat merupakan tali perhubungan tiap-tiap manusia dengan Allah SWT. Namun demikian, telah disebutkan di atas bahwa Rukun Islam sangat menjaga kedua tali perhubungan itu. Salat, selain sebagai tali perhubungan dengan Allah SWT, juga dapat dijadikan sebagai sarana mempererat hubungan dengan masyarakat.
Salat sebagai sarana mempererat kedua tali itu dapat diselidiki dari sudut pandang sejarah salat yang Rasulullah Saw kerjakan.
Sebagaimana telah maklum bahwa salat yang dikerjakan sendiri di rumah menurut hukum fikih telah sah. Namun kalau ditinjau dari sudut pandang sejarah, ternyata salat sendiri itu hanya dilakukan oleh Rasulullah saat beliau masih di Makkah, di mana saat itu masyarakat Islam belum tersusun secara rapi.
Seketika beliau pindah dari Makkah ke Madinah, masih dalam perjalanan—tepatnya di Quba, kira-kira tiga jam lagi sampai di Kota Madinah—mulailah diturunkan salat Jumat dan salat berjemaah.
Sesampainya Rasulullah Saw di Madinah, yang mula-mula didirikan adalah masjid. Dalam masjid itu Rasulullah Saw melaksanakan salat berjemaah dengan para sahabat. Selepas salat, dibicarakan urusan-urusan negara dan agama. Sehabis salat—biasanya setelah salat Asar, Rasulullah Saw menjawab berbagai pertanyaan dan menyelesaikan persoalan umat, termasuk menerima utusan dari luar Madinah.
Sepekan sekali diadakan salat Jumat. Pada saat hari raya tiba, umat Islam bersama-sama melaksanakan salat Id di tanah lapang. Dalam waktu-waktu itu dibacakan khutbah guna memberikan penerangan kepada kaum Muslimin tentang urusan agama dan dunia mereka.
Oleh karena pelaksanaan ibadah semacam itu, tidak ada orang yang terlepas dari ikatan masyarakat. Dalam saf-saf salat tampak sekali persahabatan di antara mereka yang bertali di jalan Allah.
Gaya Hidup Kapitalistik Modern
Sebagaimana telah menjadi adat dunia, ada yang kaya seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, ada pula yang miskin seperti Abu Hurairah.
Pertanyaan kritisnya, adakah di antara mereka yang kaya bangga dengan kekayaannya dan yang miskin merasa hina dengan kekurangannya? Jawabannya tidak ada! Semua tetap dihubungkan dengan kasih mesra. Mereka bersusun rapi menjadi makmum di belakang Rasulullah Saw
Barangkali inilah yang membedakan kaum Muslim zaman Rasulullah Saw dengan kaum Muslim zaman modern, yang mana kaum Muslim modern terjebak dalam gaya hidup yang dianut oleh Barat, di mana orang Barat berkelindan dengan kehidupan kapital dan hedon.
Gaya hidup semacam itu melahirkan kelas-kelas di tengah masyarakat. Kehidupan egaliter yang diterapkan Rasulullah dan para sahabat terpinggirkan oleh keberadaan kelas-kelas tersebut, sehingga gaya hidup seperti itu membuat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin dalam.
Ketika perbedaan itu semakin dalam dan tidak ada usaha untuk melakukan pendangkalan, maka yang dikhawatirkan akan terjadi ledakan sosial, dan ini tentu buruk bagi sebuah peradaban.
Seperti telah dikatakan di awal, bahwa adat dunia berlainan tingkatan akal dan pikiran. Perbedaan tingkatan itulah yang kemudian menyebabkan adanya kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, kaum borjuis dan proletar. Oleh sebab kenyataan dunia itulah, maka dalam Islam ada aturan atau perintah zakat.
Zakat dan salat itu tidak bisa dipisahkan, sebagaimana manusia dan tali Allah tidak bisa diputuskan. Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an, perintah salat dan zakat selalu disebut beriringan. Ketika Allah memerintahkan salat, Allah mengikutinya dengan perintah menunaikan zakat.

Orang yang telah sampai hartanya satu nisab dan mencapai bilangan tahun (haul), maka wajib baginya mengeluarkan sebagian tertentu dari harta yang ia miliki untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima.
Zakat termasuk rukun agama yang tidak boleh diabaikan oleh orang kaya. Meskipun harta itu dicari dan dimiliki oleh pribadi, namun masyarakat juga punya hak atas harta tersebut. Zakat adalah bukti persatuan masyarakat. Inilah alat yang senantiasa mempersatukan si kaya dan si miskin.
Dengan demikian, harapannya kedua Rukun Islam yang telah ditelaah dan diulas tersebut tidak sekadar menjadi ibadah ritual tanpa makna, tetapi diharapkan menjadi ibadah sosial yang penuh kebermanfaatan.
Sehingga, dengan keberimbangan ibadah ritual dan ibadah sosial itu, dapat menjadi jembatan manusia untuk semakin dekat dengan Tuhannya, serta dapat mempersatukan, mendamaikan, dan mempersaudarakan sesama.
Editor Zahra Putri Pratiwig