
PWMU.CO – Ibnu Khaldun merupakan seorang ulama sekaligus ekonom Muslim yang hidup pada abad ke-14. Dalam karya ikoniknya yang berjudul Muqaddimah, Ibnu Khaldun menuangkan buah pemikirannya tentang ekonomi — yang hingga kini masih memiliki relevansi. Mulai dari konsep keseimbangan ekonomi makro, teori upah, perpajakan, hingga pentingnya solidaritas sosial (ashabiyah) dalam menopang kemajuan ekonomi suatu bangsa.
Dalam buku tersebut, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kesejahteraan suatu negara sangat tergantung pada keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran negara. Hal ini mirip dengan gagasan multiplier effect dalam ekonomi modern seperti yang dikembangkan oleh John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris. Menurut Keynes, peningkatan belanja pemerintah bisa memicu pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat bagaimana belanja pemerintah yang fokusnya pada infrastruktur dan bantuan sosial mampu menjaga roda ekonomi tetap berputar di masa krisis, seperti saat pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu (Suryahadi et al., 2020).
Salah satu aspek yang sangat menarik dari pemikiran Ibnu Khaldun adalah pandangannya mengenai upah. Ia menjelaskan bahwa besaran upah penentunya adalah mekanisme pasar. Yaitu oleh permintaan dan penawaran tenaga kerja, dan juga oleh produktivitas tenaga kerja itu sendiri. Ini mengindikasikan bahwa Ibnu Khaldun sudah memiliki pemahaman awal mengenai teori upah marjinal dalam ekonomi modern. Dalam realitas Indonesia saat ini, perbedaan upah yang masih tajam antara sektor formal dan informal bisa terjelaskan lewat logika ini. Karena itu, peningkatan keterampilan tenaga kerja melalui pelatihan vokasi dan pendidikan menjadi langkah penting dalam meningkatkan nilai tawar dan produktivitas pekerja (World Bank, 2020).
Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas pentingnya kebijakan pajak yang adil dan tidak memberatkan. Ia menekankan bahwa jika pajak terlalu tinggi, maka akan melemahkan semangat wirausaha dan menyebabkan pengusaha berpindah ke wilayah lain. Teori ini diperkuat oleh Laffer Curve dalam ekonomi modern yang menyatakan bahwa ada titik optimal dalam tarif pajak agar pendapatan negara maksimal. Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan. Reformasi perpajakan belakangan ini bertujuan untuk memperluas basis pajak tanpa memberatkan pelaku usaha, terutama UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional (Kementerian Keuangan, 2022).
Lebih jauh, Ibnu Khaldun memperkenalkan konsep ashabiyah, yang bisa bermakna sebagai semangat kolektivitas atau solidaritas sosial. Menurutnya, kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kekompakan dan semangat gotong royong warganya. Konsep ini sangat sesuai dengan semangat kebhinekaan di Indonesia. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, pembangunan ekonomi yang inklusif akan sulit tercapai tanpa adanya rasa kebersamaan dan tanggung jawab sosial.
Oleh karena itu, program-program sosial seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) yang kini dikembangkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah memainkan peran penting dalam membangun ekonomi umat. Beberapa studi, seperti oleh Ascarya (2017), menunjukkan bahwa pengelolaan zakat dan wakaf yang produktif bisa menjadi alternatif pembiayaan pembangunan yang efektif, sekaligus menekan kesenjangan sosial.
Konsep-konsep ekonomi Ibnu Khaldun juga relevan ketika kita membahas fluktuasi ekonomi dan krisis. Ia berpendapat bahwa naik turunnya suatu negara atau peradaban banyak dipengaruhi oleh faktor sosial-politik. Termasuk moral pemimpinnya dan distribusi kekayaan yang tidak adil. Hal ini bisa kita lihat dari krisis moneter 1998 di Indonesia. Bukan hanya krisis keuangan, tapi juga krisis kepercayaan terhadap elite politik. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, ketimpangan yang ekstrem dan korupsi adalah awal dari keruntuhan ekonomi suatu bangsa (Chapra, 2000).
Catatan bagi Indonesia
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya tidak hanya fokus pada angka-angka makro-ekonomi seperti pertumbuhan PDB saja. Pembangunan ekonomi juga harus memperhatikan dimensi keadilan sosial dan pemerataan. Pemikiran Ibnu Khaldun bisa menjadi inspirasi untuk memperkuat ekonomi syariah di Indonesia yang kini terus berkembang. Menurut data OJK (2023), pertumbuhan perbankan syariah dan keuangan sosial Islam di Indonesia menunjukkan tren positif. Ini membuka peluang besar bagi pembangunan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan, selaras dengan prinsip-prinsip Islam.
Dari topik paparan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun bukan hanya warisan sejarah. Tetapi juga sumber inspirasi yang relevan untuk menjawab tantangan ekonomi kontemporer. Melalui pendekatan yang seimbang antara aspek spiritual, sosial, dan ekonomi, pemikiran Ibnu Khaldun memberikan arah baru bagi pembangunan ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tapi juga menjunjung tinggi keadilan, kebersamaan, dan keberlanjutan.***
Editor Notonegoro