
PWMU.CO – Di era media sosial dan kecepatan digital, satu frasa yang paling sering kita jumpai dalam berbagai platform adalah : klik, baca, dan bagikan. Frasa ini seolah menjadi mantra zaman, menandai kebiasaan baru manusia dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi.
Namun di balik kemudahannya, tersimpan persoalan literasi yang serius: apakah kita benar-benar membaca sebelum membagikan? Dan apakah yang kita bagikan layak dipercaya?
Kita hidup dalam zaman ketika informasi menyebar lebih cepat daripada kemampuan berpikir. Dengan satu klik, sebuah berita baik benar, keliru, atau bahkan palsu bisa menjangkau ribuan hingga jutaan orang dalam hitungan detik.
Ini adalah kekuatan luar biasa dari media digital. Tapi kekuatan ini bisa menjadi pedang bermata dua, apalagi jika tidak disertai kesadaran literasi yang kuat.
Sayangnya, banyak dari kita terbiasa membagikan sesuatu tanpa membaca secara utuh, apalagi memverifikasi isinya. Judul yang provokatif, gambar yang mengejutkan, atau narasi yang emosional.
Sering kali cukup untuk membuat jari kita refleks menekan tombol “bagikan”. Padahal bisa jadi isi kontennya menyesatkan, menimbulkan kepanikan, bahkan merugikan orang lain.
Kebiasaan ini menunjukkan bahwa literasi kita belum sampai pada tahap yang matang. Literasi sejati tidak berhenti pada bisa membaca, tapi juga mencakup memahami, memverifikasi, dan bertindak secara bijak terhadap informasi. Inilah yang disebut dengan literasi kritis kemampuan untuk membaca dengan kepala dingin, bukan dengan emosi sesaat.
Kita perlu menyadari bahwa setiap informasi yang kita sebarkan adalah cerminan tanggung jawab sosial. Klik dan bagikan bukan sekadar urusan pribadi, tetapi tindakan publik. Apa yang kita bagikan bisa membentuk opini, mengubah persepsi, bahkan mempengaruhi kebijakan.
Maka, menjadi pengguna media yang cerdas berarti tidak mudah terpancing, tidak tergesa membagikan, dan mau meluangkan waktu untuk membaca secara utuh.
Kita juga perlu membudayakan pause sebelum share—berhenti sejenak untuk berpikir. Dari mana sumber berita ini ? Apakah media yang kredibel ? Apakah ada bukti atau data yang menyokong ? Siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari narasi ini ?
Di era digital, setiap orang mempunyai “panggung”. Tapi panggung ini harus digunakan dengan tanggung jawab. Literasi bukan lagi soal buku semata, tapi juga soal etika bermedia.
Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan “hanya membagikan saja”. Klik, baca, dan bagikan bukan sekadar aktivitas ringan ia adalah keputusan.
Maka, mari latih diri kita untuk membaca dengan kritis, berpikir sebelum berbagi, dan ikut menciptakan ruang digital yang sehat. (*)
Penulis Fathurrahim Syuhadi Editor Alfain Jalaluddin Ramadhani