
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy – Pegiat Literasi
PWMU.CO – Malam itu, SM Tower menjadi sebuah tempat pilihan atas sebuah diskusi yang semula saya kira akan berjalan seperti biasa: tentang pengelolaan sekolah, service excellent, dan strategi kemajuan Amal Usaha Muhammadiyah.
Saya hadir sebagai bagian dari Majelis Tarjih dan Tajdid, memenuhi panggilan Ustadz Fatin Hamam selaku Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Tak ada ekspektasi berlebihan, kecuali menyimak, mencatat, dan membawa pulang satu dua hal baru untuk diterapkan. Namun siapa sangka, malam itu berubah menjadi titik balik dalam cara saya memahami arah perjuangan pendidikan Islam.
Pak Ghufron Mustaqim, tokoh IT yang akrab dengan startup Evermos dan kini menjadi bagian dari Sarekat Usaha Muhammadiyah (SUMU), tampil bukan sebagai teknokrat biasa. Di saat hadirin menanti paparan teknis tentang bagaimana mengelola sekolah unggul dengan pelayanan prima, beliau justru membuka layar dengan slide Masjidil Aqsa. Bukan sekadar gambar, tapi potongan sejarah. Bukan sekadar pembuka, melainkan pintu menuju visi yang lebih tinggi yakni tentang barokah, peradaban, dan tanggung jawab kolektif umat Islam atas Palestina.
Saya sempat tercengang. Ini adalah forum pendidikan, lalu mengapa topik seperti Yerusalem (Al-Quds) menjadi bahan pembahasan? Mengapa pula muncul penyebutan tentang Mataram Islam? Bahkan, kutipan dari Profesor Abdul Fattah Al-Awaisi pun turut disampaikan. Namun seiring penjelasan Pak Ghufron mengalir, saya mulai melihat jalinannya, bahwa service excellent bukanlah sekadar keramahan resepsionis atau kecanggihan sistem absensi, tapi kesadaran mendalam bahwa sekolah adalah medan jihad peradaban.
Ia membangun argumen bahwa pendidikan Muhammadiyah yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam keempat terkaya di dunia punya potensi luar biasa untuk membebaskan Palestina. Ya, membebaskan. Bukan sekadar menyumbang, tetapi merancang, mendirikan, dan mengelola amal usaha di tanah yang sedang dijajah itu.
Sontak ruangan jadi senyap. Saya memperhatikan, di benak banyak guru dan kepala sekolah mungkin muncul pertanyaan, “Kita butuh panduan teknis, bukan mimpi besar.” Namun justru di titik inilah saya mulai merasa: barangkali inilah arah yang selama ini kita lupakan. Bahwa pendidikan seharusnya tidak berhenti pada sekadar kompetisi antarsekolah, branding di media sosial, atau perolehan piala dari berbagai cabang lomba, baik akademik maupun olahraga. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih mendesak, dan lebih bermakna: mendidik untuk peradaban, mendidik untuk kemerdekaan, dan mendidik untuk Palestina.
Ia mengubah arah hidupnya. Urusan bisnis ia delegasikan. Fokusnya kini hanya satu: membebaskan Palestina. Bukan dengan senjata, tetapi melalui amal usaha, dengan membangun sekolah, rumah sakit, dan berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) lainnya. Saya terdiam. Di tengah kegaduhan dunia, ternyata masih ada seseorang yang menyimpan nyala cita-cita itu dalam hatinya.
Ia tidak menafikan pentingnya service excellent. Namun, ia menghadirkan makna yang lebih dalam. Pelayanan terbaik bukan semata untuk orang tua murid, tetapi untuk umat ini secara keseluruhan.
Visi peradaban diupayakan tertanam dalam sistem pendidikan kita. Palestina lebih dari sekadar nama tempat, tetapi simbol dari krisis peradaban itu.
Maka, ketika kita mendidik, kita sejatinya tidak sedang memoles citra lembaga. Kita sedang menyiapkan generasi yang kelak mampu berdiri di tanah suci itu sebagai pendidik, penggerak, dan penolong.
Sayangnya, sebagian dari kita masih terjebak dalam ego kelembagaan. Ingin tampil unggul sendiri, maju sendiri, dan dikenal hebat sendiri. Akibatnya, yang tumbuh bukanlah semangat kolaborasi, melainkan kompetisi yang sarat friksi. Sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi satu keluarga secara struktural, dan satu barisan perjuangan secara kultural, justru sibuk berlomba menonjolkan diri, siapa yang paling unggul, paling modern, paling layak dipuji. Ini bukan lagi bentuk service excellent, tetapi service egosentris.
Maka, narasi Pak Ghufron perlu didengar ulang. Bukan untuk dipuji, tapi untuk direnungi. Masihkah orientasi sekolah-sekolah kita hari ini berada di rel peradaban? Ataukah justru telah melaju kencang menuju jurang individualisme kelembagaan? Pertanyaan ini penting kita renungkan bersama.
Visi yang beliau bawa bukanlah visi utopis yang melayang di awang-awang. Ia berpijak kuat pada realitas: pada potensi kekuatan umat dan pelajaran dari sejarah. Namun pada saat yang sama, ia menatap jauh ke cakrawala masa depan umat Islam bahwa keberkahan yang mengelilingi Palestina (baraknaa haulahu) tak akan pernah kita raih jika kita tidak turut serta memerdekakannya.
Maka, kemerdekaan itu, sebagaimana yang pernah diperjuangkan bangsa ini, tidak lahir dari senjata semata. Ia tumbuh dari semangat kolektif membangun basis kekuatan yang kokoh: melalui pendidikan yang mencerdaskan, ekonomi yang mandiri, dan kesehatan yang menyejahterakan.
Saya menulis ini bukan sebagai catatan seminar, tapi sebagai ajakan. Agar kita para pendidik, kepala sekolah, aktivis Muhammadiyah kembali menyatukan langkah. Kita tak sedang berlomba membuat brosur terbaik, SPMB terbanyak, tetapi sedang mempersiapkan generasi pembebas. Kita tak sedang mengincar rangking nilai atau viralitas TikTok sekolah, tetapi sedang menanamkan semangat jihad peradaban. Jika Palestina adalah titik awal dan akhir perjuangan umat ini, maka sekolah kita adalah tempat memulainya.
Mari pikirkan kembali hal-hal yang sekiranya berpotensi memberikan gejala egosentris lembaga. Mari naikkan level orientasi kita. Jadikan setiap ruang kelas sebagai ruang pembebasan, setiap apel pagi sebagai penguatan ruh jihad, dan setiap silabus sebagai jalan menuju kemerdekaan Palestina. Visi ini besar, tapi bukan berarti tak mungkin. Kita hanya perlu memulainya mulai hari ini. (*)
Editor Ni’matul Faizah