
Oleh Soegianto, Pengamat AI
PWMU.CO– Ekonomi gig, atau yang sering disebut gig economy, adalah model ekonomi di mana orang bekerja secara fleksibel, biasanya melalui pekerjaan sementara, kontrak jangka pendek, atau proyek lepas, bukan pekerjaan tetap dengan jam kerja 9-to-5.
Bayangkan seperti pasar kerja yang dinamis: seseorang bisa jadi driver ojek online pagi ini, besok ngedit video untuk klien, dan akhir pekan mungkin jualan kue secara daring. Intinya, pekerja gig mengambil “gig” atau tugas tertentu sesuai kebutuhan, sering kali melalui platform digital seperti Gojek, Upwork, atau Fiverr.
Yang bikin ekonomi gig menarik adalah kebebasannya. kita bisa atur sendiri jam kerja, pilih proyek yang sesuai passion, dan kerja dari mana saja—entah dari kafe favorit atau sofa di rumah.
Tapi, ada sisi lain: penghasilan bisa nggak stabil, nggak ada jaminan seperti asuransi kesehatan atau cuti berbayar, dan persaingan di platform kadang ketat. Jadi, ini seperti petualangan: seru, tapi butuh kesiapan dan strategi.
Ekonomi gig juga didorong oleh teknologi. Aplikasi dan platform digital mempertemukan pekerja dengan klien atau pelanggan secara instan. Di Indonesia, misalnya, jutaan orang terlibat di ekonomi gig, dari driver online sampai freelancer desain grafis. Ini bukan cuma tren, tapi cara baru orang mencari nafkah di era digital—fleksibel, tapi penuh dinamika.
Ekonomi gig, sistem kerja berbasis proyek jangka pendek melalui dan menawarkan fleksibilitas namun penuh ketidakpastian. Pekerja lepas, seperti driver ojek online, desainer, atau content creator, sering tanpa jaminan gaji tetap, BPJS, atau cuti.
Pengalaman di lapangan, seperti di gudang Amazon, mengungkap realitas keras: kontrak nol jam, risiko pemecatan karena pelanggaran kecil, bahkan pekerja terpaksa buang air di botol karena takut kehilangan pekerjaan. Di uber, meski dijanjikan kebebasan sebagai “bos sendiri,” pekerja dikontrol ketat oleh algoritma dan rating.
Pekerja Gig vs Pekerja Tetap
BPS (Februari 2023) mencatat 46,47 juta pekerja lepas di Indonesia (32% dari 146,62 juta angkatan kerja), naik dari 34 juta di 2022. Pekerja tetap masih dominan (59,36% pada 2024), tapi pekerja gig terus meningkat. Di Inggris, kontrak nol jam melonjak pasca-resesi 2008, menunjukkan tren global.
Lima Tahun ke Depan
Ekonomi gig akan berkembang pesat, didorong digitalisasi dan kebutuhan tenaga kerja fleksibel. World Economic Forum memprediksi 60% pekerjaan pada 2027 membutuhkan keterampilan teknologi dan AI.
Pekerja gig akan dominan di sektor kreatif dan jasa, tapi pekerja tetap masih relevan di bidang seperti kesehatan. Perusahaan (75% menurut Upwork) akan memilih freelancer untuk efisiensi, memindahkan risiko bisnis ke pekerja, tanpa jaminan upah minimum atau tunjangan.
Peran AI
AI mengubah ekonomi gig. Algoritma mencocokkan pekerja dengan proyek, menciptakan peluang baru seperti prompt engineering (gaji hingga $200.000), dan meningkatkan produktivitas via alat seperti ODU.
Namun, AI juga menggantikan tugas rutin, seperti di logistik atau layanan pelanggan, menuntut pekerja terus belajar agar relevan. Risiko diskriminasi dari algoritma atau penurunan keterlibatan pekerja karena otomatisasi juga perlu diwaspadai.