
Oleh: Anang Dony Irawan – Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
PWMU.CO – Menjadi catatan sejarah dimana pada 66 Tahun yang lalu, tepatnya pada 5 Juli 1959 keluar sebuah Dekrit oleh Presiden Soekarno. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah keputusan penting dalam sejarah politik Indonesia pasca kemerdekaan yang sangat mempengaruhi struktur pemerintahan dan konstitusi negara.
Dekrit tersebut dikeluarkan oleh Presiden Soekarno sebagai respons terhadap kebuntuan politik yang terjadi dalam sidang Konstituante, yaitu lembaga yang dibentuk untuk menyusun konstitusi baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950 (UUDS 1950).
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 sebagai respons atas kegagalan Dewan Konstituante dalam merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru.
Kebuntuan dalam Dewan Konstituante
Konstituante yang dibentuk melalui hasil Pemilu tahun 1955 mengalami kebuntuan karena adanya perbedaan pandangan antar golongan, terutama mengenai dasar negara. Situasi ini akhirnya menimbulkan ketidakstabilan politik dan mengancam persatuan bangsa.
Dekrit ini menjadi tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, karena mengakhiri era Demokrasi Liberal (juga dikenal sebagai Demokrasi Parlementer) dan menjadi awal lahirnya era Demokrasi Terpimpin di bawah kekuasaan Presiden Soekarno.
Dewan Konstituante telah beberapa kali menggelar sidang untuk merumuskan UUD yang baru. Namun, sidang-sidang tersebut mengalami kebuntuan karena adanya perbedaan pandangan tajam antar kelompok politik d idalamnya, terutama terkait dengan dasar negara (antara pendukung Pancasila dan pendukung Islam sebagai dasar negara). Meskipun telah dilakukan pemungutan suara sebanyak tiga kali, Konstituante tetap gagal mencapai kesepakatan dan tidak mampu memenuhi kuorum yang diperlukan untuk mengesahkan UUD baru.
Kegagalan ini menyebabkan krisis politik dan ketidakpastian hukum, sehingga akhirnya Presiden Soekarno mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk menyelamatkan situasi negara. Dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 memuat beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Pembubaran Dewan Konstituante.
2. Tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
3. Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai dasar konstitusi negara, menggantikan UUDS 1950.
4. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggotanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan daerah dan golongan.
5. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) sebagai lembaga penasihat presiden.
Selain itu, dalam konsideran (pertimbangan hukum) dekrit tersebut, Presiden Soekarno juga menegaskan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945, serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi tersebut.
Pernyataan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi aspirasi kelompok Islam yang sebelumnya memperjuangkan agar Piagam Jakarta dijadikan dasar negara secara formal.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian membawa dampak besar terhadap sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun Dekrit ini sempat menstabilkan situasi politik untuk sementara waktu, namun dalam jangka panjang, kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin justru menciptakan masalah baru dalam pemerintahannya. Ketegangan politik yang semakin memuncak akhirnya berujung pada Peristiwa G30S 1965 dan jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno.
Demokrasi Terpimpin ala Soekarno
Dalam sistem Demokrasi Terpimpin, kekuasaan Presiden Soekarno menjadi sangat dominan, termasuk mengambil alih sebagian besar fungsi parlemen melalui MPRS yang berada di bawah pengaruhnya. Dengan dekrit tersebut, arah pemerintahan Indonesia berubah menjadi lebih terpusat dibawah kendali langsung Presiden. Konsep Demokrasi Terpimpin pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang Konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Demokrasi Terpimpin adalah sebuah sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia pada periode 1959 hingga 1966. Dalam sistem ini, seluruh keputusan penting negara berada di tangan pemimpin negara, yaitu Presiden Soekarno. Sistem Demokrasi Terpimpin menempatkan Presiden sebagai pusat kekuasaan dan pengambil keputusan utama dalam berbagai aspek pemerintahan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial.
Dekrit Presiden ini merupakan “suatu cara yang inkonstitusional” yang ditempuh oleh pemerintahan Presiden Soekarno setelah melihat kenyataan gagalnya Dewan Konstituante dalam menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) baru. Langkah ini diambil karena Konstituante tidak mampu mencapai kesepakatan, sehingga menimbulkan krisis politik dan ketidakpastian hukum yang mengancam persatuan negara.
Namun sejarah akhirnya membuktikan bahwa dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak hanya menjadi titik balik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia baru dimana menjadi awal dari lahirnya kekuasaan otoriter Presiden Soekarno. Bahkan kemunculan Soekarno sebagai seorang pemimpin dengan kekuasaan yang sangat besar, yang kemudian dikenal sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” melalui konsep Demokrasi Terpimpin yang dibuatnya.
Dalam sistem ini, Presiden Soekarno memegang kendali penuh atas pemerintahan, parlemen, dan militer, yang membuatnya dijuluki oleh banyak pengamat sebagai diktator baru di Indonesia saat itu. Walaupun Dekrit Presiden merupakan sebuah produk politik yang dikeluarkan dalam situasi krisis kenegaraan, sifatnya yang sangat politis, memiliki pengaruh besar terhadap jalannya demokrasi di suatu negara.
Dalam kasus Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak hanya menyelesaikan kebuntuan politik akibat gagalnya Konstituante dalam membuat UUD baru, melainkan juga telah mengubah arah sistem pemerintahan. Dekrit ini menjadi titik awal perubahan besar dalam demokrasi Indonesia, dari sistem Demokrasi Liberal menuju Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan terpusat di tangan Presiden Soekarno.
Editor Ni’matul Faizah