
Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy *)
PWMU.CO – Pernyataan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (Zulhas) saat menyampaikan materi dalam rangkaian Tanwir Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Surabaya terkait dengan LBGT bahwa ada lima Fraksi DPR yang setuju dengan LGBT menuai reaksi keras dan beragam, termasuk reaksi dari beberapa partai yang merasa “dirugikan” dengan pernyataan Zulhas.
Meski reaksi itu sah saja dalam alam demokrasi, namun reaksinya menurut saya sedikit berlebihan. Terlebih reaksi yang menyoal posisi politik Zulhas sebagai Ketua MPR, yang tak ada kaitan dengan fungsi ke-DPR-an, utamanya terkait fungsi legislasi.
Rasanya terlalu aneh dan naif ketika memosisikan Zulhas sebatas sebagai Ketua MPR. Zulhas itu Ketua Umum PAN, sementara Fraksi di DPR adalah kepanjangan tangan dari partai. Wajar dan logis kalau Zulhas paham persoalan yang terjadi di DPR.
Zulhas juga anggota DPR, karena DPR pasti anggota MPR, jadi secara pribadi sebagai anggota DPR Zulhas juga punya kapasitas untuk bicara yang terkait dengan fungsi DPR.
Jadi, sekali lagi, naif saja yang menyoal posisi politik Zulhas ketika bicara di Tanwir Aisyiyah.
Dalam pernyataannya Zulhas jelas tidak menyebut satu pun nama fraksi dimaksud, sehingga rasanya tak perlu ada fraksi yang merasa tersinggung dan kebekaran jenggot.
Terkecuali Zulhas menyebut nama fraksi, wajar kalau fraksi yang disebut merasa menjadi “tertuduh” mendukung LGBT bereaksi.
Saya memahami pernyataan Zulhas kok sederhana. Seperti pernah disampaikan oleh Mahfud MD dalam acara di ILC dan dalam Twitnya Guru Besar UII juga menyinggung kembali bahwa kalaupun nanti LGBT masuk pembahasan di DPR sangat mungkin akan banyak fraksi yang mendukungnya, karena di belakang kampanye LGBT ada banyak duit ratusan miliar rupiah.
Jadi bagi saya, pernyataan Zulhas hanya memertegas atau dalam bahasa pesantren disebutnya taukid atas sinyalemen Mahfud MD.
Jadi, kalaulah pernyataan Zulhas tidak benar sekalipun, dengan merujuk pada sinyalemen Mahfud MD, maka pernyataan Zulhas mesti dipahami sebagai “uji publik” terhadap partai-partai dalam menyikapi LGBT.
Melalui pernyataan Zulhas, publik akan disuguhi tontonan terkait pernyataan partai-partai dalam menyikapi LGBT. Nantinya akan terlihat mana partai yang tegas menolak LGBT, partai yang samar-samar mendukung LGBT (karena saya yakin di tahun-tahun politik 2018, 2019 tak akan ada partai yang berani terang-terangan mendukung LGBT) dan partai yang sukanya mencari “jalan aman”.
Justru pernyataan Zulhas perlu ditundaklanjuti oleh masyarakat dengan mendorong kepada DPR untuk membahas RUU atau R-KUHP terkait LGBT secepatnya.
Jangan sampai pembahasannya justru lewat selepas 2019. Kenapa? Pertama, kalau dibahas sebelum 2019, maka kita akan melihat “Fraksi Merah Putih” dan “Fraksi Komprador”.
Kita akan mengetahui mana fraksi yang Pancasilais dan mana yang fraksi yang “anti-Pancasila”. Bagi saya, fraksi-fraksi yang mendukuung LGBT adalah fraksi anti-Pancasila. Derajatnya harus kita samakan dengan PKI. Fraksi-fraksi akan diuji “keberaniannya”, apakah dalam hal mendukung atau menolak LGBT.
Kedua, dengan mengetahui peta dukungan dan penolakan fraksi-fraksi atas LGBT, maka umat Islam dan umat beragama lain, terutama yang tergolong “Abrahamic Religion” yang juga menolak LGBT bisa memberikan hukuman setimpal atas kepongahan partai-partai yang fraksinya mendukung LGBT.
Saya menduga, kalau pembahasannya sebelum 2019, fraksi-fraksi komprador yang sudah kebelet mendukung LGBT karena tergiur kucuran uang ratusan miliar akan dibikin dilema luar biasa.
Kalau mendukung LGBT risikonya akan habis di TPS, tak dipilih. Tapi kalau menolak rIsikonya tak akan mendapat gelontoran uang yang begitu banyak dan akan dicap sebagai tak patuh oleh “tuannya”.
Jadi sekali lagi, saya melihat sisi positif pernyataan Zulhas. Di tengah kemunafikan politik yang terjadi dan melanda bangsa ini, Indonesia membutuhkan banyak orang yang siap tidak populer karena pernyataan-pernyataannya. Dalam konteks ini, saya merindukan sosok Gus Dur dengan segala kontroversinya.
Saya yakin, Gus Dur berani kontroversi, selain berangkat dari keyakinan juga karena tak lagi butuh popularitas. (*)
Bandung, 21 Januari 2018
*) Ma’mun Murod Al-Barbasy, Guru Ilmu Politik FISIP UMJ
Discussion about this post