Zaman Jahiliyyah tapi Berkebajikan: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah sebelum Islam (1)

Zaman Jahiliyyah tapi Berkebajikan: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah sebelum Islam
Ilustrasi kondisi masyarakat Arab pada zaman Jahiliyyah sebelum Islam (ilustrasi: syakirawisatadotcom)

PWMU.CO – Hingga kini tidak sedikit umat Islam yang menganggap periode Mekkah sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai terjelek. Apalagi disertai imbuhan jahiliyyah di belakang nama zaman, membuat masyarakatnya seakan-akan tidak lebih dari kumpulan manusia yang nirkeadaban. Hampir semua kejahatan, baik konvensional maupun extraordinary, selalu disematkan kepada masyarakat yang berabad-abad terus menjaga Ka’bah itu.

Keyakinan itu hampir tidak pernah mengalami peninjauan ulang, sehingga pandangan negatif itu terus terlestarikan hampir tanpa kritik sama sekali. Penilaian ini secara tendensius membuat nilai-nilai kebajikan yang mereka praktikkan menjadi sirna hampir tidak berbekas. Pada titik yang ekstrem, penilaian negatif itu membuat catatan sejarah zaman jahiliyyah benar-benar tidak ada gunanya, selain sebagai bahan olok-olok.

Padahal masyarakat mana pun tentu tidak seragam, baik karakter maupun peradaban yang dibangunnya. Dari sudut sosiologis, masyarakat Mekkah sudah terbagi dua kelompok: penduduk kota dan Badui. Penduduk kota tinggal menetap dan rata-rata berprofesi sebagai pedagang.

Sementara Badui adalah nomaden yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain dan tidak punya perkampungan tetap. “Mereka biasanya mencari oase untuk bercocok tanam di sekitarnya, serta memelihara ternak domba dan unta,” tulis Ali Mufrodi dalam Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.

Lazimnya manusia, sejelek torehan sejarah yang dicatatkan dalam kehidupan pasti terselip nilai kebajikan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan nilai-nilai (values) itu masih relevan dijadikan pelajaran bagi kaum terkini, bahkan diiimplementasikan. Tidak terkecuali nilai-nilai kebajikan yang tumbuh dalam keseharian masyarakat Mekkah sebelum kerasulan Muhammad, terutama sejak tahun 440 M. “Pada tahun inilah Qushay ibn Kilab memimpin Mekkah setelah mengalahkan suku Khuza’ah,” tulis sejarahwan A. Syalabi dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam I.

Definisi jahiliyyah seringkali berpijak pada makna kebahasaan, ja-ha-la. “Ja-ha-la berarti tidak tahu atau tidak punya pengetahuan,” begitu tulis Muhammad ibn Mukarram ibn Mandzir dalam Lisaan al-‘Arab juz 12 halaman 129.

“Dari definisi bahasa ini tidak sedikit komentator yang berpendapat bahwa masyarakat jahiliyyah adalah mereka yang terkungkung dalam kebodohan, menolak petunjuk Allah SWT, tidak punya moral, tidak bisa baca-tulis, serta tidak taat pada perintah-Nya,” begitu simpul Mohd Shukri Hanapi lewat “From Jahiliyyah To Islamic Worldview: In A Search Of An Islamic Educational Philosophy”, International Journal of Humanities and Social Science Vol. 3 No. 2 Januari 2013.

Penilaian jelek terhadap masyarakat Mekkah pra-Islam semakin kuat, ketika kitab suci ikut menyebut kata jahiliyyah. Alquran menyebutnya menyebut dalam empat tempat, yaitu QS Ali Imran [3]: 154, QS al-Maidah [5]: 50, QS al-Ahzab [33]: 33, dan QS al-Fath [48]: 26).

Definisi kebahasaan dan penyebutannya dalam kitab suci menjadikan masyarakat Mekkah pra-Islam sebagai terdakwa kaum jahiliyyah secara keseluruhan. Kesuraman mereka ini secara suram dipotret oleh –salah satunya– pendiri Gulen Movement, Muhammed Fethullah Gulen. “Manusia zaman itu tidak mampu memberi makna berarti terhadap hidup mereka. Pondasi keberagamaan telah goyah dan semua agama samawi mulai disimpangkan,” tulis Gulen dalam Cahaya Abadi Muhammad SAW: Kebanggaan Umat Manusia, Vol. 1.

Zaman jahiliyyah, tulis Gulen, ditandai dengan tenggelamnya manusia dalam liang kezaliman yang akut dengan rusaknya sendi-sendi kemanusiaan. “Semuanya terbalik 180 derajat, karena kebaikan dianggap sebagai aib, dan begitu juga sebaliknya,” lanjut Gulen.

Padahal fakta masyarakat Arab pra-Islam tidak sepenuhnya jelek. Bahkan, kebajikan mereka itu juga terekam dalam al-Quran…. Selanjutnya halaman 2

Sudah tentu penilaian buruk para komentator terhadap zaman jahiliyyah itu memang tidak bisa dipersalahkan. Sebab, tidak sedikit fakta yang menunjukkan masyarakat Mekkah pra-Islam yang terlibat dalam berbagai aksi yang tidak berperketuhanan dan perikemanusiaan.

Tidak heran jika salah satu sabda termasyhur Nabi Muhammad SAW tentang misi pengutusannya adalah memperbaiki akhlak umat manusia. “Innamaa bu’itstu li-utammim makaarim al-akhlaak,” begitu bunyi hadits Nabi yang termaktub dalam “Syu’b al-Iman li al-Baihaqiy”, Juz 17, karya Imam Baihaqi. Terjemahan bebas dari sabda Nabi ini adalah “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.

Teks ini secara tersirat menunjukkan ada kebobrokan moral di kalangan masyarakat saat itu sehingga perlu diperbaiki. Namun, nash ini tentu tidak bisa menjustifikasi semua kerusakan masyarakat Mekkah pra-Islam. Sebab, bukti sejarah juga menyatakan adanya berbagai kebajikan yang dilakukan oleh masyarakat Mekkah.

Dalam sejarah manusia, Mekkah adalah sebuah kota kuno yang mulai dikenal sejak zaman Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim (QS al-Baqarah [2]: 127). Kedua Nabi anak-ayah ini dikenal sebagai perenovasi Ka’bah, rumah Tuhan yang dibangun oleh manusia pertama di bumi, Adam sebagaimana terabadikan dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 96.

Catatan tertulis pertama yang menceritakan Mekkah berasal dari abad ke-5. Tepatnya, saat Ptolemy menyebut kota ini dengan Macroba dalam bahasa Aram, atau Mekkah dalam bahasa Babilonia. “Penyebutan Mekkah semula untuk menandai keberadaan bayt Allah, yang lama-kelamaan menjadi sebutan wilayahnya,” begitu jelas penulis buku “babon” sejarah Arab, History of the Arabs, Philip K. Hitti. (Adapun penghuni Mekkah dikenal dengan kaum Quraisy, bisa dibaca di sini: Suku yang Diabadikan sebagai Nama Surat al-Quran, Berikut 6 Asal Muasal Penyebutan Quraisy)

Penyebutan Ptolemy sejak abad ke-5 ini menunjukkan Mekkah dengan bangunan Ka’bah menjadi pusat agama jauh sebelum Muhammad lahir. Kota ini selalu didatangi oleh berbagai suku dari seluruh penjuru Arab, paling tidak setahun sekali pada saat musim haji.

Untuk menghormati orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, masyarakat setempat bersepakat meniadakan peperangan dalam bulan Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. “Penghormatan terhadap bangunan berbentuk kubus ini juga terlihat dari kesepakatan mereka yang menghindarkan medan peperangan dari area sekitar Ka’bah,” lanjut Hitti.

Tidak hanya dalam masalah keagamaan, Mekkah sejak jauh hari juga memainkan peran penting dalam berbagai bidang kehidupan lainnya di seluruh Jazirah Arab. Ia menjadi kota terpenting dalam kegiatan perdagangan, sebagai kota yang dilewati jalur antar-negara.

“Jalur pertama menghubungkan Mekkah dengan Yaman-India-Syria, sementara jalur lainnya menuju Iraq, Iran, and Eurosia yang berlanjut hingga Ethophia dan Afrika Timur,” terang Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islam: Conscience and History in a WorId Civilization.

Posisi strategis sebagai pusat agama dan perdagangan, membuatnya menjadi tempat sakral yang sekaligus dikunjungi. “Dikunjungi oleh bangsa-bangsa Arab dan non-Arab untuk beribadah haji maupun berdagang,” terang Zuhairi Misrawi tentang kondisi Mekkah periode sebelum kelahiran Nabi Muhammad dalam bukunya “Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim”.

Lantas apa saja nilai-nilai kebajikan masyarakat Mekkah zaman Jahiliyyah yang masih bisa diambil intisarinya untuk kehidupan kekinian? Salah satunya tentang ini: Percaya Allah Sang Pencipta: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah Zaman Jahiliyyah (2)(muh kholid as)

Exit mobile version