(Kafir) yang Percaya Allah Sang Pencipta: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah Zaman Jahiliyyah (2)

Zaman Jahiliyyah tapi Berkebajikan: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah sebelum Islam
Ilustrasi kondisi sekitar Ka’bah pada zaman Jahiliyyah sebelum Islam (ilustrasi: syakirawisatadotcom)

PWMU.CO – Sebelum membaca tulisan ini, sebaiknya para pembaca PWMU.CO tulisan pengantar dalam bagian 1. Hal ini agar pembaca bisa memahami secara utuh maksud tulisan ini, tanpa penyederhanaan –yang terkadang menyesatkan. Pengantar yang dimaksud adalah link sebagai berikut: Zaman Jahiliyyah tapi Berkebajikan: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah sebelum Islam (1). Semoga tidak salah paham. Selamat membaca!

***

Dalam berbagai perjalanan sejarah manusia, senegatif apapun peran yang telah dimainkan, tentu tetap saja terdapat sisi positif yang bisa dijadikan ‘ibrah bagi masa kekinian. Sama halnya dengan sejarah manusia yang dipenuhi cerita positif, sudah pasti terselip sisi negatif. Begitu pula halnya masyarakat Mekkah sebelum Islam, selain mempunyai sisi negatif, tentu ada nilai positifnya yang bisa dijadikan bahan perenungan.

Di antara nilai-nilai kebajikan yang tetap relevan hingga kini diimplementasikan, tentu dengan pemaknaan yang berbeda. Nilai kebajikan masyarakat Mekkah zaman jahiliyyah di antaranya tentang keimanan masyarakat Jahiliyyah kepada Tuhan. Selama ini tidak sedikit umat muslim yang berpendapat masyarakat Mekkah sesaat sebelum kenabian Muhammad adalah penyembah berhala, bukan Tuhan pencipta alam semesta.

Anggapan penyembah berhala (paganisme) ini salah satunya muncul karena Ka’bah dikelilingi 360 berhala yang kemudian dihancurkan oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun 630 M saat terjadi “Fathul Makkah”. “Bahkan ada yang menyatakan bahwa masyarakat Quraisy saat itu tidak percaya kepada Tuhan,” tulis Guru Besar Sejarah Peradaban Islam dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Ali Mufrodi dalam “Islam di Kawasan Kebudayaan Arab”

Namun, jika merujuk kepada pada ayat-ayat Alquran, ternyata sangat jelas bahwa orang-orang Arab bukan tak percaya kepada Tuhan yang juga pemilik Ka’bah. Justru mereka sangat percaya tentang keberadaan “Tuhan”. Tak hanya dalam catatan sejarah, bahkan kepercayaan mereka kepada Tuhan ini direkam dalam Alquran. Tuhan yang mereka percaya adalah Tuhan yang diistilahkan dengan “pencipta langit dan bumi” (QS az-Zumar [39]: 38), serta “Tuhan pemilik Ka’bah” sebagaimana tercatat dalam surat Quraisy [106] ayat 3.

Hanya saja mereka memandang Allah sebagai Tuhan Tertinggi yang tidak langsung bisa digapai oleh manusia. Mereka menggap harus ada tuhan-tuhan kecil yang lebih rendah sebagai pendamping sekaligus perantara sebagaimana terekam dalam QS 29: 65 dan QS 39: 3. “Masyarakat Mekkah berkeyakinan bahwa untuk menuju Tuhan Yang Maha Besar ini harus ada washilah-nya,” jelas Jonathan P. Berkey dalam “Formation of Islam: Religion and Society in the Near East 600-1800”.

Tauhid “rubuubiyyah” ini juga dicatat oleh dua sahabat Nabi, ‘Ikrimah dan Ibn ‘Abbas. Menurut dua tokoh ini, masyarakat jahiliyyah sebenarnya mengetahui bahwa Allah-lah Tuhan yang sesungguhnya. “Tapi mereka tetap menyekutukan-Nya dengan cara menyembah Allah melalui perantara,” tulis Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, dalam Tafsir al-Thabariy Juz 16.

Inti kepercayaan berhala sebagai perantara menuju Tuhan ini juga diungkap oleh Abu Sufyan bin Mu’awiyyah –sebelum memeluk Islam. Menanggapi kabar dari rahib tentang akan datangnya nabi, dia menuduh para rahib itu tidak mengerti soal agama sehingga membutuhkan Nabi. “Masyarakat Mekkah sudah mempunyai banyak berhala yang bisa mendekatkan mereka kepada Tuhan sehingga tidak memerlukan nabi,” kata Abu Sufyan sebagaimana dikutip oleh Muhammad Husain Haekal dalam “Sejarah Hidup Muhammad”.

Keyakinan masyarakat Mekkah pra-Islam ini juga dibenarkan oleh dua sejarahwan Martin Ling dan Marshall G.S. Hodgson. Termasuk dalam keyakinan mereka bahwa Allah juga mempunyai “anak” malaikat. “Mereka membuat berhala-berhala yang diakuinya sebagai malaikat yang berfungsi perantara penyembahan kepada Tuhan,” begitu tulis Manna’ Khalil al-Qathtan Tafsir al-Qaththan Juz 1.

Masyarakat Mekkah sebelum Muhammad juga telah mengenal Allah sebagai nama Tuhannya. Karena itu, ketika periode awal kenabian, al-Quran menyebut nama Tuhan dengan kata “rabbuka (Tuhanmu)”, bukan “Allah”. Dalam tiga wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, QS al-‘Alaq (1-5), QS al-Mudatstsir (1-10), dan QS al-Dluhaa (1-11), kata rabbak dan yang semakna terdapat 7 buah. Yaitu masing-masing dua dalam al-‘Alaq (1 dan 3) dan al-Mudaththir (3 dan 7), dan tiga dalam QS al-Dluhaa (3, 5, dan 11).

Alasan wahyu periode awal kenabian tidak menggunakan “Allah”, tapi “Tuhanmu”. Selanjutnya halaman 2

Selain untuk meluruskan keyakinan masyarakat Mekkah, penghilangan kata Allah pada wahyu-wahyu pertama ini juga untuk membedakan “Tuhannya” Muhammad dan Tuhan yang dimaksud masyarakat Mekkah umumnya. “Tuhan Muhammad tidak membutuhkan pendamping atau perantara, sementara sebagian masyarakat Mekkah berkeyakinan sebaliknya,” sebagaimana ditulis oleh M. Quraish Shihab dalam “Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat”.

Masyarakat Mekkah secara fisik memang menyembah berhala dan juga melakukan berbagai pengorbanan dan ritual, tetapi tujuan utama mereka adalah Tuhan. “Paganisme yang dipraktikkan masyarakat Mekkah sebenarnya juga tidak lepas dari agama Ibrahim, haniifiyyah,” jelas Jonathan P. Berkey. “Hanya saja dengan perkembangannya terdapat ragam improvisasi dan inovasi sebagai hasil perjumpaan dengan agama dan budaya lain, sehingga terjadi penyelewengan.”

Kronologi perubahan ajaran hanifiyyah menjadi wathaniy ini terjadi ketika Mekkah masih dipimpin oleh Suku Khaza’ah, tepatnya Amr bin Luhay. Suatu hari dia melakukan perjalanan ke Syam, dan di sana dia melihat penduduknya menyembah berhala. Dia pun menganggapnya sebagai sesuatu yang baik karena Syam adalah tempat para Rasul dan kitab.

“Ketika dia pulang, maka dibawalah sebuah patung dan meletakkannya dekat Ka’bah, dan memerintahkan penduduk Mekkah untuk memuliakannya,” jelas Sayed Abul Hasan Ali Nadwi dalam “Muhammad The Last Prophet: A Model For All Time”.

Pada sisi lain, masyarakat Mekkah juga senang memuliakan batu-batu yang ada di sekeliling Ka’bah. Ketika bepergian, mereka selalu membawa batu tersebut untuk kemudian thawaf mengelilingi batu yang dibawanya itu. Setelah tahunan, batu dari sekitar Ka’bah yang dibentuk menjadi patung itu berada di berbagai tempat. “Patung-patung dan berhala itu mereka kumpulkan di sekitar Ka’bah,” lanjut Ali Nadwi yang juga dibenarkan oleh sejarahwan A. Syalabi.

Sementara inti dari haniifiyyah tentang keesaan Allah swt adalah sama dengan ajaran Islam yang didakwahkan Muhammad. Untuk mengambil kesimpulan yang kedua ini, Berkey menggunakan kalimat yang cukup hati-hati.“…In this light, the phenomenon of the hanifiyya might indicate, once again, that Islam’s origins, even in the Arabian environment, were very much a part of wider religious patterns embracing the whole of the Near East…”.

Menurut Abu ‘Ubaydah, kelompok haniifiyyah adalah orang-orang yang mengikuti ajaran tauhid Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. “Pengikut agama ini diidentikkan dengan mereka yang melaksanakan khitan dan berhaji,” jelas Abu ‘Ubaydah dalam “Majaaz al-Qur’an” Juz 1.

Di antara penganut agama haniifiyah yang murni adalah Zayd bin ‘Amr, Ustman bin al-Huwayrisy, ‘Ubaydillah bin Jahsy, dan Waraqah bin Nawfal. Selain tidak mau beribadah yang harus melalui perantara, keempatnya juga tercatat mengembara ke berbagai wilayah untuk menemukan hakikat beribadah kepada Allah SWT. “Zayd bin ‘Amr pergi ke Syria dan Iraq, Ustman menempuh perjalanan ke Romawi Timur, sementara Waraqah hijrah ke Ethopia,” jelas Husain Haekal.

Selain keempatnya, Syalabi juga menambahkan nama Quus ibn Saydah al-Ayyaadiy dan ‘Umayyah ibn Abiy al-Shalt al-Thaqafiy. Bahkan Hodgshon juga menyebut Muhammad adalah penganut syari’at ini sebelum diangkat sebagai Rasul dan Nabi. Namun, Husain Haekal berpendapat ritus yang dilakukan Muhammad sebelum kenabian tidak menganut syariat Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Nuh, Nabi Musa, maupun Nabi Isa. “Lebih dapat dipastikan, Muhammad menganut dan mengamalkan syariat,” tulis Husain Haekal tanpa menyebutkan syariat apa dan siapa.

Berbagai fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Mekkah sebenarnya kaum beriman. Hanya saja keberimanan ini tidak dibarengi dengan keunggulan dalam ilmu, sehingga sikap baik ini justru berakibat pada penyekutuan Tuhan. Kehilangan tauhid sebagai ruh kehidupan membuat mereka terjebak pada perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Allah swt.

Meski demikian, “keteguhan” kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya menjadi poin penting yang cukup penting dijadikan i’tibar untuk kaum beriman kekinian.

Bersambung (muh kholid as)

Exit mobile version