PWMU.CO-Suasana lingkungan SMA Muhammadiyah 2 (SMAMDA) Sidoarjo terlihat agak berbeda, Kamis (19/4/2018). Tidak seperti biasanya, pagi itu, semua guru datang ke sekolah tidak mengenakan pakaian dinas lazimnya, tetapi justru mermakai pakaian adat tradisional. Ada yang mengenakan baju Bali muslim, baju adat Jawa Timuran, Jawa abdi Dalem, Aceh, Minang, Madura, Reog Ponorogo, hingga baju Betawi.
“Ini sesuai edaran Diknas agar hari ini guru, karyawan, dan siswa mengenakan busana adat,” terang Kepala SMAMDA Wigatiningsih kepada pwmu.co. Meski mengenakan pakaian adat, para dewan guru dan karyawan justru antusias mengenakan beragam busana daerah mulai Sabang sampai Merauke, sehingga membuat suasanasekolah jadi heboh di hari itu.
Menurut perempuan yang juga Pendekar Tapak Suci itu seharusnya busana adat ini dipakai hari Sabtu bertepatan dengan hari Kartini. Namun, lanjut dia, karena hari Kartini jatuh pada tanggal 21 April 2018 atau hari Sabtu, instansi libur, sehingga seragam pakaian adat diajukan di hari Kamis.
“Dengan memakai busana adat ini ternyata kita jadi tahu bahwa busana adat daerah sangat banyak. Itu Jawa Timur saja, apalagi Indonesia,” tutur Joeliarto Joedi, guru kesenian SMAMDA.
Kegiatan mengenakan busana adat ini sebenarnya sudah lama disosialisasikan agar tiap hari Kamis pekan pertama setiap bulan, seluruh siswa mengenakan baju adat. Namun kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran dari wali murid kalau anaknya nanti menjadi tidak nyaman saat belajar.
“Sebenarnya baju adat gini kan baju sehari-hari. Sama seperti kakek-nenek kita dulu sekolah pakai baju begini. Tidak ribet, tidak perlu persiapan khusus seperti kalau mau jadi pendamping manten. Enak baju gini, nyaman,” tambah pria yang akrab disapa papa Yudi.
Di SMAMDA Sidoarjo penggunaan kebaya bagi guru perempuan sudah berlangsung selama satu tahun. Setiap Jumat, ibu-ibu guru mengenakan kebaya dan bapak-bapak menggunakan baju koko atau takwa. “Justru menarik begini, tidak seribet yang dibayangkan. Nyaman saja selama ini kita pakai kebaya. Dengan pakai baju adat kita jadi tahu dan ingat identitas kita”, tutur Sensei Liesa pengajar bahasa Jepang. (ernam)
Discussion about this post