PWMU.CO – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof M. Amin Abdullah meminta agar ulama tarjih Muhammadiyah tidak menjadi ulama yang mabniyun ala sukun atau berfikiran jumud.
Hal itu dikatakan Prof Amin Abdullah dalam acara kajian penyegaran metodologis Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Aula Mas Mansur Kantor PWM Jatim, Ahad (22/4/2018).
“Kita harus berubah, berubah dan berubah. Masak ulama tarjih kok mabniyun ala sukun. Ya nggak berkemajuan,” kata Amin Abdullah. ”Umumnya ulama tarjih kita ini memang suka status quo. Padahal, ilmu itu sifatnya mu’raf,” ujarnya.
Berita Terkait: Pentingnya Mengkaji Sejarah Ushul Fikih
Ditegaskan, dia yang memperkenalkan metode tarjih bayani, burhani dan infarni saja sudah melewatinya dua metode lagi.
Dalam kesempatan itu Prof Amin menyampaikan materi tentang pendekatan sistem dalam studi hukum Islam berdasar pemikiran Jasser Auda, dosen Fakultas Studi-Studi Islam di Universitas Doha, Uni Emirat Arab. Jasser Auda adalah orang Mesir, hafidh Quran triple IT generasi keempat.
Amin lalu menerangkan, dunia dalam kurun waktu 150 tahun terakhir telah berubah total yang meliputi sains (ilmu pengetahuan), humanitas, dan ilmu sosial.
“Waduh, perkembangan sains itu luar biasa bagaikan alam ghaib bagi umat Islam. Ada ruang angkasa, antariksa, orang pergi ke bulan maupun evolusi genetika. Luar biasa sekali. Begitu pula dengan perkembangan humanitas dan ilmu sosial. Semua berubah total,” ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, ditambah semakin dekatnya hubungan antar umat beragama. “Nah, untuk bisa memasuki itu semua tidak bisa hanya dengan ushul fikih. Harus masuk pada taksilul ushul,” tegasnya.
“Sebenarnya yang dibutuhkan sekarang ini adalah taksilul ushul. Karena tidak cukup hanya ushul fikih untuk memahami tentang equal citizenship, gender equalty dan lainnya,” ungkapnya.
Lalu, apa persoalan yang Jasser Auda hadapi sehingga harus berfikir tentang ushul fikih baru? Padahal hukum Islam mempunyai istambat yang komplit. “Jawabnya adalah perkembangan zaman itu sendiri,” tuturnya.
Diterangkan, alasan Jasser Auda pertama karena fikih dan ushul fikih itu ditulis seribu tahun lalu. Sementara zaman sudah berubah. Kedua, hukum Islam terkesan tidak memberikan solusi, ada yang salah dalam penerapannya dan copy paste fatwa. Ketiga, penerapan Hukum Islam terkesan banyak yang reduksionis, literal, satu dimensi, dikotomi (binary) dan dekonstruksi dari pada rekonstruksi.
“Hukum Islam begitu linier. Tapi bukan multi disiplin,” kata Prof Amin mengistilahkan.
Ketiga persoalan itu, sambung dia, memuncak ketika terjadi kasus terorisme di London, teror bom di Spanyol, Prancis dan lainnya. “Semua beranggapan ini akarnya adalah syariah. Loh kok begini. Terorisme kok berdasar hukum Islam. Waduh, gawat ini. Bagaimana menolongnya?” katanya.
Baca Juga: Inilah Tiga Formasi Shalat Tarawih Sesuai Sunah yang Direkomendasikan Majelis Tarjih
Menyikapi itu Jasser Auda pun akhirnya mengambil doktornya yang kedua tentang teori sistem. “Nah, inilah yang Jasser Auda kenalkan. Yakni tentang teori sistem,” urainya.
Prof Amin lalu menyebutkan, terdapat empat kelemahan Maqasid al-Syariah klasik menurut Jasser Auda. Pertama, maqasid klasik tidak merinci cakupannya dalam bab-bab khusus sehingga tidak mampu menjawab secara detail pertanyaan mengenai persoalan tertentu. “Gimana aturan bertetangga dengan non muslim, belum bisa dijawab,” contohnya.
Kedua, maqasid klasik lebih mengarah kepada kemaslahatan individu. Bukan manusia atau masyarakat secara umum. Ketiga, maqasid klasik tidak mencakup prinsip-prinsip utama yang lebih luas. Misalnya soal keadilan, kebebasan berekspresi dan lainnya.
Keempat, penetapan maqasid klasik bersumber pada warisan intelektual fikih yang diciptakan oleh para ahli fikih, dan bukan diambil dari teks utama seperti al-Quran dan As-Sunnah.
“Itu adalah kritik Jasser Auda terhadap kaidah ushul fikih klasik. Karena ushul fikih klasik itu dinilai sebagai hasil pemikiran generasi terdahulu,” terangnya.
Lalu, apakah generasi sekarang nggak boleh berijtihad? Meski kata orang Muhammadiyah ijtihad adalah hal yang penting. “Apa nggak boleh kita berijtihad. Nah itu menarik sekali,” tanyanya.
Setelah Jasser Auda mengkritik begitu, lantas bagaimana konsepsi ke depan? Nah, kerangka teori dan pendekatan yang dibangun Jasser Auda adalah multidisiplin. “Itu sama persis seperti yang saya kampanyekan dulu. Sebab, sejak tahun 2002 saya telah mengampanyekan multidemensi bernama integrasi-interkoneksi,” paparnya.
“Jadi ilmu lain itu penting. Jangan hanya fikih dan ushul fikih. Sosiologi agama itu penting. Antropologi agama juga penting,” sambungnya.
Jika tidak, ungka dia, penelitian yang terkait tentang teori-teori hukum Islam akan mabniyun ala sukun di dalam manuskrip lama atau literatur lama. Hukum Islam akan ketinggalan zaman. “Maka tadi itu muncul bom sana. Bom sini. Waduh gawat ini. Bom syariah lagi. Waduh, bom kok syariah. Kacau balau ini. Padahal, teorinya lemah, hasil praktis juga,” keluhnya.
Lantas bagaimana kita ingin tahu tentang Jasser Auda. Salah satu kuncinya adalah multidisiplin ilmu. Diterangkan terdapat enam fitur atau elemen multidisplin ilmu. Yakni, fitur kognisi, holistik, keterbukaan, interkonektivitas, multidimensi dan berorientasi pada tujuan (purposefulnes). “Hubungan enam elemen atau fitur tersebut adalah saling terkait satu dengan lainnya,” tegasnya.
Lebih lanjut Jasser Auda bilang Maqasid al-Syariah klasik yang merupakan bagian tak terpisahkan dari studi hukum Islam dan usul al-fiqh dengan istilah penjagaan. “Maqasid al-Syariah lama lebih bersifat protektif atau tertutup. Sedangkan maqasid kotemporer lewat pemikiran Jasser Auda lebih bersifat development atau pengembangan,” tegasnya.
Prof Amin memaparkan, ternyata cara berfikir umat Islam itu ada fase atau etapenya. Ada tradisionalis, modernis dan post modernisme. Pertanyaannya adalah pernah nggak kita mengukur ada dimana fase kita? Atau pokoknya kita Islam.
“Jangan-jangan Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi modernis ini ternyata cara berfikirnya tradisionalis ataupun konservatif. Karena tidak diukur,” tanyanya.
Di akhir paparannya, disebutkan, maqasid kontemporer lebih mengedepankan nilai keadilan, kesamaan, kesejahteraan ketimbang hukumnya. “Lebih ke tujuannya dari pada hukumnya,” tuturnya. (Aan)
Discussion about this post