PWMU.CO-Dalam ketiga cerita anak ini, teks verbal diurai tidak terlalu panjang dan linier, tetapi ada beberapa kontradiksi dari segi struktur gramatikalnya. Hal ini bisa menimbulkan kerumitan isi dan berdampak pada perkembangan pemerolehan bahasa (language acquisition) yang berlangsung pada pembaca usia anak-anak.
Keberadaan gambar pendukung cerita diperuntukkan untuk memperjelas, mendukung dari keberadaan teks cerita. Variasi pendukung ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan dan mempermudah pembaca dalam memahami isi yang diuraikan.
Gambar pendukung cerita dalam SATdB dan ABMD, terdapat pengingkaran dari konvensi cerita anak. SATdB dimuncukan gambar anak laki-laki sedang diraba-raba dadanya oleh laki-laki dewasa, sedangkan ABMD, digambarkan anak yang memasukkan tangan kanannya ke dalam celana ketika menggambarkan anak yang mendapatkan permainan mengasyikkan.
“Memang, dari segi konvensi, cerita anak harusnya isi, gambar, bahasa, sampai dengan pencitraan yang digunakan penulis harus mendukung dalam proses edukasi anak,” ungkap Dr Ida Nurul Chasanah, SS, MHum, dosen Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, saat dimintai komentar tentang isi ketiga cerita anak tersebut, Senin (23/4/18).
“Dalam 3 cerita anak karya Fita Cakra menunjukkan adanya pergeseran isi dan bentuk dari konvensi cerita anak yang pada umumnya,” tambahnya.
Dalam konvensi cerita anak, menurut dia, cerita anak memang identik dengan kesederhanaan, meskipun kompleksitas masih terjaga. Kesederhanaan terlihat dalam narasi, materi, dan alur linier yang dipakai. Isi lebih memberikan ruang anak untuk berimajinasi dan berkreativitas.
Pola pikir yang mengalir dalam cerita adalah pola pikir anak dan bukanlah orang dewasa, karena secara psikologi ada perbedaan dan tidak boleh dicampuradukkan. Pola pikir inilah yang akan membawa emosi dan perasaan anak dalam menyelami dan masuk lebih dalam di inti cerita.
Dalam menarasikan cerita anak, kaidah-kaidah yang menjadi rambu-rambu utama menjadi pegangan. Konvensi ini menjadi pondasi utama dalam proses penceritaan sehingga keberadaan teks cerita anak itu ‘aman’ dibaca anak dan mampu memberikan penguatan nilai karakter.
Ini pun ditegaskan Bramantio, SS, MHum. Dosen naratologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga yang pernah meraih juara III dalam Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 2007 ini cerita dalam cerita anak harus menceritakan kisah atau petualangan tentang anak. Imajinasi atau kisah-kisah tokohnya harus menggambarkan diri anak sebenarnya. Bukan cerita anak yang semua isinya dimanipulasi isinya, walaupun tokoh-tokohnya anak-anak juga.
“Pencitraan, bahasa, dan unsur gambar yang terdapat dalam isi buku menunjukkan kedewasaan bukan kekanak-kanakan. Inilah yang menunjukkan indikasi cerita anak sudah tervirusi dengan cerita remaja, bahkan orang dewasa.”
Cerita anak yang berbentuk cerita bergambar atau picture storybook merupakan bentuk cerita yang memadukan teks dan gambar sebagai bentuk penyajian. Teks verbal (teks) dan teks visual (gambar) disajikan secara bersama, dengan memberikan fungsi sebagai media menuturkan tema, ide, dan juga emosi.
Kedua teks memiliki keterkaitan dan kepaduan dalam mendukung isi cerita. Keduanya memiliki keseimbangan menjalin dan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bercerita. Secara fisik teks, buku cerita ini lebih memiliki ide-ide cerita sederhana, alur linier, bertutur secara langsung dan juga materi ringan, yang dipahami dan diketahui oleh anak-anak.
Keberadaan stilistika (gaya bahasa) yang terdapat dalam teks cerita adalah hal utama dalam mendukung keberadaan cerita. Apalagi, SATdB, ABBT, dan ABMD adalah cerita dibaca bukan untuk dibacakan orang tua pada anak, praktis harus memiliki korelasi positif dalam gaya penyampaian, gaya tutur, pemilihan kata dan kalimat, penggunaan citraan, serta gambar sebagai pendukung cerita harus mudah dicerna dengan logika pembaca anak.
Ketidaksesuaian konstruksi ini bisa menjadikan isi cerita sebagi media praktis konkret, pembaca anak bisa meniru, membuka rasa ingin tahu tinggi, dan mengajak sesuai dengan isi konten dalam cerita anak tersebut.
Dalam cerita anak SATdB, ABBT, dan ABMD, secara konstruksi penceritaan terdapat keganjilan kalau dilihat dari gaya penceritaan, diksi, kalimat, citraan, dan gambar pedukung cerita. Konstruksi penceritaan memperlihatkan pergeseran teks dalam cerita anak sesuai dengan konvensi cerita anak yang berkembang. Kalau konstruksi penceritaan tersebut terdapat permasalahan, maka yang ditakutkan adalah bentuk implikasi dari proses pembacaan yang sudah dilakukan. Udasmoro dalam buku Sastra Anak dan Pendidikan Karakter bahwa mekanisme internalisasi, objektivasi, dan eksternalisasi terhadap teks bisa mengalami kesalahan juga.
Secara fungsi, cerita anak mengandung unsur mendidik sekaligus menghibur. Bentuk-bentuk inkonsistensi dalam penceritaan dalam cerita anak memiliki implikasi terhadap penanaman nilai pada diri anak juga.
Jangan sampai proses pembacaan cerita anak yang dilakukan memberikan efek negatif terhadap perkembangan dan psikis anak. Bentuk-bentuk kekerasan seksual dan perilaku penyimpangan bukan menjadi model pembelajaran atau pendidikan, tetapi lebih pada anjuran dan contoh konkret yang bisa ditiru oleh anak secara langsung. Ketakutan-ketakutan ini bisa terjadi dan berakibat fatal, seiring dengan hadirnya pengaruh media massa dan perkembangan IT yang beredar di lingkungan anak.
Menurut Ika Famila Sari, SPsi, yang juga guru BK SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik, proses pembacaan terhadap cerita anak, anak akan cepat merespon dan melakukan peniruan. Ketika cerita anak memiliki nilai pesan positif, maka anak akan bisa mengambil nilai-nilainya. Tetapi sebaliknya, ketika cerita anak mengalami penyimpangan dari segi, semisal seksualitas atau pornografi, maka memori anak pun akan menyimpan. Tinggal menunggu waktu saja mereka akan mencoba atau mempraktikannya.
Ketakutan inilah yang harus disikapi pihak orang tua dan sekolah dalam menyediakan bahan bacaan pada anak. Orang tua pun harus seleksi ketika membelikan buku. Lihat isi, gambar, kalau perlu baca terlebih dahulu. Kira-kita pantas atau kurang ketika isinya dipahami anak.
Pihak sekolah pun harus selektif dalam memilih dan memilah buku-buku yang menjadi sumber literasi di perpustakaan. Mulai dari isi, pengarang, dan konten gambar pun harus diperhatikan dengan detail sehingga sekolah tidak kecolongan dalam memberikan sumber belajar.
“Kita sangat selektif dalam membeli buku cerita, khususnya untuk anak-anak usia SMP,” ujar Ustadz Dwi Bagus Gunawan, SS, pustakawan SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik. “Jangan sampai ada buku-buku yang mengandung unsur pornografi atau seksualitas dalam cerita-cerita yang ada di perpustakaan. Kita membeli buku berdasarkan permintaan siswa, tetapi isi selalu kita seleksi dengan ketat. Buku itu cocok atau tidak untuk dijadikan bacaan anak,” tambahnya.
Maka, proses literasi sangat penting bagi anak dalam membangun karakter, tetapi orang tua dan sekolah pun memegang peranan penting dalam melakukan pendampingan, pemilihan, dan pengawasan terhadap buku-buku yang dibaca oleh anak. Proses literasi akan memiliki efek ketika isi buku mampu menggerakkan pikiran, wawasan, dan juga pengetahuan siswa.
“Melalui bahasa yang sederhana, unsur menyenangkan, cerita anak diharapkan mampu merangsang anak untuk belajar karakter dalam alur cerita,” ungkap Ibu Farida, wali siswa SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik sekaligus ketua IKMWAM, dihubungi melalui saluran selulernya, Selasa (24/4/18).
Terus bagaimana dengan cerita anak yang mengalami penyimpangan isi dan kurang sesuai dengan anak?
Ibu yang juga bekerja sebagai pengacara ini pun menolak dengan tegas. Ketika cerita anak yang tidak sesuai proporsinya, cerita berbau pornografi, sepertinya ada usaha dari pihak-pihak yang mencoba membangun karakter yang merusak moral anak bangsa.
Farida menjelaskan bahwa peran orang tua memegang peran krusial dan terus menjaga hubungan humanis dengan anak sehingga bisa menangkal cerita-cerita yang kurang sesuai umur anak. Orang tua harus bisa memahamkan dan mengedukasi anak supaya bisa selektif terhadap isi cerita yang dibaca. (Ichwan Arif)
Discussion about this post