PWMU.CO – Perbincangan tentang siapa Presiden Republik Indonesia di tahun 2019 menjadi topik yang paling hangat dalam acara Dirasah Islamiyah lil Zu’ama yang digelar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik, Ahad (6/5/18), di Gedung Dakwah Muhammadiyah Gresik.
Topik itu menghangat ketika berlangsung sesi tanya jawab, usai Mayjend (Purn) Kivlan Zen menyampaikan ceramahnya di hadapan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik beserta Pimpinan dan Anggota Majelis-Lembaga, dan organisasi otonom, serta Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-Kabupaten Gresik.
“Kalau menurut Bapak, kita milih ganti presiden atau tidak. Gitu saja Pak,” ujar seorang ibu bernama Mashito Ratna Pertiwi, berapi-api. Bukan hanya bertanya pada Kivlan, aktivis Aisyiyah itu juga minta hadirin untuk menjawab pertanyaannya, “Gimana Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, ganti presiden atau tidak? Lanjut apa ganti?”
Mendapat pertanyaan itu Kivlan balik bertanya pada hadirin, “Tunjuk tangan, siapa yang mau ganti presiden?” Karena tidak semua mengangkat tangan, Kivlan pun berucap, “Ada yang sebagian gak tunjuk tangan.”
Ucapan Kivlan itu membuat Ratna kembali bertanya pada peserta. “Pak ayo Pak, tujuk tangan siapa yang ganti presiden. Yang ganti presiden ngacung (angkat tangan)!”
Ratna bersemangat bak koodinator lapangan sebuah aksi unjuk rasa. Tangannya mengepal dan berdirinya mondar-mandir. Bahkan, saking heroiknya, dia minta ‘aksinya’ itu diliput wartawan. “Mohon difoto para wartawan, wartawan foto,” ucapnya.
Tak cukup di situ, melihat Kivlan Zen tidak ikut angkat tangan, Ratna kembali menodongnya. “Bapak ganti gak Pak, kok gak ngacung Pak, maaf?” serunya pada Kivlan.
“Kalau gantinya saya, saya mau,” jawab Kivlan diplomatis. Menurut mantan Pangkostrad ini, ganti presiden itu ada dua kemungkinan. “Ganti banjunya (atau ganti orangnya). Dulu partainya PDIP sekarang partainya Golkar. Ibu ini minta ganti presiden, bisa jadi (Jokowi) ganti bajunya, dari PDIP ke Golkar,” jawab Kivlan.
Sebelumnya, Kivlan Zen juga ditodong oleh Muhammad Maftuh Wakil Ketua PDM Gresik, untuk menjawab siapa calon presiden yang yang paling cocok untuk dipilih. “Pak Kivlan ini adalah kader dari Kostrad. Tahu kira-kira ke depan siapa calon presiden yang paling cocok dalam situasi negera seperti ini, Pak?” Menurut Maftuh, hanya ada tiga pilihan, yaitu Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Gatot Nurmantyo.
Bagaimana jawaban Kivlan Zen saat ditodong dengan pertanyaan itu? “Saya kan bukan orang partai. Kalau saya orang partai PDIP, pilihlah Jokowi. Kalau saya orang Gerindra, pilihlah Prabowo. Kalay yang gak puya partai pilihlah Gatot,” ujarnya diplomatis. “Tapi kalau saya, pilihlah saya. Masak saya pilih orang lain, ya toh.”
Menurut dia, sekarang belum terjadi kontestasi. Sebab belum ada calon yang resmi karena pencalonan terakhir tanggal 10 Agustus 2018 dan diumumkan siapa-siapa yang memenuhi syarat pada tanggal 18 Agustus 2018. “Nanti kalau saya bicara duluan, nanti (dianggap) mendahului (takdir). Gak boleh Allah,” ucapnya.
Bagi Kivlan, tiga nama yang ditanyakan itu memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. “Tapi saya lihat ada kelebihan dan ada kekuarangan pada figur masing-masing,” tuturnya.
Yang satu, sambung dia, kebaikannya berkuasa. Kalau dia jadi orang baik, maka akan baik. Yang kedua tidak berkuasa. Kalau berkuasa ia bisa baik dan mungkin bisa jadi tidak baik. “Yang ketiga tidak punya partai. Ide-idenya bagus. Niatnya bagus saya lihat itu. Tapi kalau gak punya partai gimana. Karena UUD menyebutkan harus lewat partai,” ungkapnya.
Kivlan mengajak hadirin melihat perkembangan sampai tanggal 10 Agustus 2018. “Pilihlah salah satu di antara tiga atau dua. Siapa yang cocok dengan orang Muhammadiyah. Yang cocok dengan aspirasi Muhammadiyah ini, ya udah dipilih,” pesannya. “Tapi kalau hati saya, saya yang tahu ke mana saya akan pergi.”
Kivlan Zen menekankan syarat pemimpin yang pantas dipilih, yaitu yang bisa beramal shaleh, mengemban amanat UUD 1945.
Dalam ceramah sebelumnya, Kivlan Zen mengajak warga Muhammadiyah untuk berkiprah dalam politik, baik di legislatif maupun eksekutif, bahkan pada institusi penyelenggara pemilu. Karena dengan cara itu, kebijakan politik bisa diwarnai oleh nilai-nilai amal shaleh. (MN)
Discussion about this post