
PWMU.CO – Mukmin sejati itu sangat cinta pada Allah. Hidupnya adalah pembayaran sebagai bukti cintanya. Tapi membunuh orang-orang tak berdosa pada saat mereka sedang beribadah sebagai laku bunuh diri adalah sekaligus bukti kekafiran mereka sendiri pada ajaran Allah yang katanya mereka cintai.
Hemat saya, perilaku teror ini adalah respons non-linier atas perilaku teror-negara yang dipertontonkan oleh negeri-negeri adikuasa yang kini semakin hidup dari ekonomi-perang sebagai gejala kronis dari military-industrial-complex. Sedangkan para elite negara boneka hanya berpangku tangan diam seribu bahasa menonton pembantaian atas saudara-saudara mereka oleh mesin-mesin perang tuan-tuan adikuasa ini.
Aksi teror sebagai respons non-linier ini lahir di puncak penderitaan, kegetiran, dan keputusasaan. Begitu banyak penderitaan, kegetiran dan keputusasaan itu berkembang di masyarakat—mungkin tidak di Surabaya—yang diciptakan oleh korupsi dan kebijakan-kebijakan yang mengabdi pada segelintir orang dengan banyak privilege, bukan untuk kepentingan dan kebajikan publik. Saya ragu apakah tontonan berdarah ini menyadarkan elite boneka ini untuk malu dan introspeksi.
Terlalu banyak warga muslim yang naif dan terbatas pemahamannya atas Islam justru akibat dari pendidikan sekuler yang menjauhkannya dari Islam selama ini. Mereka ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh mereka sendiri untuk menciptakan citra hitam atas Islam.
Pelaku bom bunuh diri itu tidak menyadari bahwa mereka sedang menjalankan sebuah skenario yang sudah disiapkan oleh musuh mereka sendiri. Jika saja mereka tahu bahwa musuh-musuh mereka itu sebenarnya bukan kaum Nasrani yang saleh, tapi elite adikuasa tidak bertuhan yang bersedia mengorbankan siapa pun, tidak peduli suku atau agamanya.
Pada saat ledakan itu mencabut nyawa dan melukai banyak manusia tak-berdosa, para elite adikuasa ini tersenyum sambil mencuci tangan mereka yang berlumuran darah.
Gunung Anyar, 14 Mei 2018.
Daniel Mohammad Rosyid
Discussion about this post