PWMU.CO – Hari-hari ini Presiden Jokowi sibuk kampanye untuk pemulihan kurs rupiah terhadap dolar Amerika. Cadangan devisa yang tersimpan di Bank Indonesia mulai menipis karena terus menerus dipakai mengintervensi kurs rupiah agar kuat menghadapi tekanan dolar Amerika.
Bayang-bayang krisis moneter 1997-1998 seolah sudah di depan mata. Kubu politik yang berseberangan dengan incumben merasa mendapat peluang dan amunisi untuk mengganti kepala negara pada Pemilu 2019 yang akan datang.
Marilah kita sedikit keluar dari suhu panas menjelang pemilu 2019 yang dipenuhi perang jargon: kampret, cebong, ganti presiden atau tetap Jokowi.
Situasi ekonomi perlu disikapi bersama dengan susana tenang, penuh tabayun dan tolong menolong dalam kebajikan.
Bayang-bayang krisis moneter hakekatnya adalah pekerjaan rumah (PR) dan sejarah presiden dan bangsa Indonesia. Presiden Soekarno jatuh ketika krisis moneter mendekati 600 persen tahun 1960-an. Presiden Soeharto pun demikian, ketika krisis moneter Asia melanda tahun 1997/1998. Pada masa Presiden SBY pun sesungguhnya “nyaris” terjadi krisis yang sama ketika pada tahun 2008 terjadi krisis subprime mortage kredit macet masal perumahan di Amerika Serikat.
Alhamdulillah kedudukan presiden dan ekonomi bangsa bisa selamat dengan belajar dari pengalaman 1997/1998. Peran strategis pengusaha di bidang politik diharapkan bisa menyelematkan ekonomi bangsa daripada sekadar mengejar tujuan politik praktis lima tahunan untuk dapat “kursi” kembali.
Selain tujuan politik praktis, beberapa peran politik “oknum” pengusaha yang banyak disorot adalah tujuan ekonomi praktis. Tujuan ekonomi praktis beberapa “oknum” politisi antara lain sekadar memburu proyek pemerintah untuk dikerjakan perusahaan milik pribadi, keluarga, kroni, atau piaraannya.
Maraknya impor produk-produk yang “tidak penting” seperti gula dan beras di tengah masa panen dalam negeri ditengarai sebagai salah satu praktik ekonomi praktis demi memburu fee.
Dengan maraknya impor otomatis devisa makin terkuras dan kurs rupiah makin terpuruk terhadap dolar Amerika. Masalah lain, penyebab minimnya cadangan devisa menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution yaitu adanya kebocoran devisa hasil ekpor yang tidak masuk NKRI alias diparkir di luar negeri.
Kalangan pelaku industri pasar modal dan pasar uang menengarai fenomena devisa yang parkir di luar negeri sebagai akibat produk undang-undang (UU) yang tidak mendukung penguatan cadangan devisa.
UU yang dimaksud yaitu UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Mata Uang. Salah satu isi UU tersebut tidak mewajibkan pengusaha ekportir untuk membawa dananya kembali ke Indonesia. Padahal sejak 1964 pengusaha yang mengekspor produk dari Indonesia wajib membawa mata uang asing yang diperolehnya disimpan di bank yang ada di Indonesia berdasarkan UU No. 32 Tahun 1964.
Melihat tahun terbitnya, UU No 32 merupakan produk Presiden Soekarno yang digunakan juga pada masa Presiden Soeharto. Sementara UU No. 24 Tahun 1999 produk Presiden Habibie pada masa “darurat” demi mendapatkan bantuan IMF.
Presiden Habibie bersama Kabinet Reformasi Pembangunan 1998/1999 mampu memanfaatkan UU No.24 untuk memperkuat nilai kurs rupiah hingga mencapai Rp. 6.000-an terhadap dolar Amerika.
Seiring berjalannya waktu dengan lengsernya Presiden Habibie euforia politik lebih dominan daripada pemulihan ekonomi. Nilai tukar rupiah lambat laun menjauh dari posisi Rp 6.000-an terhadap dolar Amerika sampai hari ini menyentuh kisaran nilai Rp 14.000 – Rp 15.000 per. dolar Amerika.
Dari waktu ke waktu setiap lima tahun sekali DPR dan pemerintah lebih sibuk merevisi UU Pemilu yang digonta-ganti. Seolah-olah urusan kursi lebih penting dari ekonomi. Di sini peran pengusaha yang “melek” ekonomi makro dan moneter diharapkan tampil.
Mengajukan usulan-usulan perangkat undang-undang untuk membangkitkan ekonomi bangsa. UU No. 24 Tahun 1999 yang merugikan NKRI dalam aspek moneter seharusnya bisa direvisi atau dikembalikan seperti UU No.24 tahun 1964.
Jika barisan pengusaha dan ekonom di legislatif dan eksekutif sekadar ikut arus politik dan ekonomi praktis sungguh bencana bagi ekonomi bangsa. Barangkali jika pintu legislatif dan eksekutif tidak mampu menghasilkan produk UU untuk memperkuat rupiah, pintu ekstra parlementer bisa ditempuh.
Muhammadiyah yang berpengalaman dalam jihad konstitusi bisa menghimpun pasukan ekonom dan pengusahanya ke Mahkamah Konstitusi. Produk UU yang berpotensi merusak cadangan devisa bangsa dalam jangka panjang tidak kalah mendesak dari UU yang bernuansa politik seperti ambang batas pencalonan presiden dan sebagainya.
Sebagaimana khittah politik strategis adi luhung yang di usung Muhammadiyah. Demi kepentingan bangsa dalam skala luas dan jangka panjang, bukan kepentingan praktis ekonomis jangka pendek. Wallahualambishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Penulis buku Nabung Saham Syariahdan Auditor di Kantor Akuntan Publik Erfan & Rakhmawan Surabaya.
Discussion about this post