
PWMU.CO – Untuk mengalihkan perhatian—bahkan kecanduan—anak dari gawai (gadget), memang tidak mudah. Hal ini dibutuhkan alat permainan edukatif yang tidak kalah menarik.
Dr Hj Nirwana MPd berkesempatan berbagi ilmu kreatifnya pada peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) I Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nasyiatul Aisyiyah (NA) di LPMP Jakarta, Sabtu (25/8/18).
Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Guru PAUD Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kusuma Negara Jakarta tersebut mengatakan, sebagai guru PAUD yang kreatif, kita tidak perlu takut menghadapi tantangan era digital. “Guru PAUD tidak boleh kehilangan cara-cara kreatif. Caranya ya belajar,” ujarnya.
Di awal materinya, Nirwana menyadarkan peserta bahwa Indonesia pada urutan ke-5 sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Brasil.
“Tingkat penetrasi internet di Indonesia hingga Maret 2017 mencapai 50,4 persen meningkat drastis dari tahun 2016 yang tercatat 34,1 persen,” jelas perempuan asal Makassar tersebut.
Dalam Rakornas yang diadakan oleh Departemen Pendidikan Pimpinan Pusat NA, Nirwana mengajak peserta praktik membuat salah satu alat permainan edukatif, yakni clay. Nirwana mengakui alat ini terbukti dapat meningkatkan kemampuan motorik halus dan kreativitas anak usia dini berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya pada tahun 2017 di Sekolah Alam Bogor.

“Kita akan praktik membuat clay sendiri, karena jika kita beli di toko harganya mahal. Clay yang hanya 30 gram bisa mencapai 15 ribu rupiah. Kalau kita membuat sendiri, hanya butuh modal 60 ribu rupiah bisa menghasilkan clay yang cukup banyak sehingga bisa digunakan banyak kegiatan,” papar Nirwana yang saat ini menetap di Bogor.
Bagi anak usia dini, kata Nirwana, clay ini bisa melatih motorik halus. “Bisa membuat bentuk, menggulung, meremas, mencubit, melipat, meronce, dan membuat tiga dimensi,” ujarnya.
Yang terpenting, lanjutnya, bagaimana anak-anak ketika bermain clay itu sesuai dengan metode dan strateginya sehingga bisa menghasilkan bentuk-bentuk yang cantik. “Ini ada lima pola dasar, yaitu bulat, bundar, tetes air, bundar lonjong, dan daun,” jelasnya.
Nirwana kemudian mengajak peserta praktik membuat clay dari bahan-bahan yang telah disediakan, yaitu satu sendok makan tepung terigu, satu sendok makan tepung beras ketan, satu sendok makan tepung sagu (bisa diganti tepung kanji), seujung sendok makan benzoate (pengawet makanan), dan dua sendok makan lem putih.

“Sebelum ditambah lem putih, aduk rata semua bahan. Setelah itu campurkan 2 sendok makan lem putih dan remas-remas (ulenin) dengan tangan hingga adonan menjadi kalis. Setelah adonan kalis, tambahkan pewarna makanan dan bentuk menjadi pola dasar yang dibutuhkan,” jelas Nirwana.
Dalam kegiatan Rakornas I ini, Nirwana mengajak peserta membuat bentuk bunga matahari karena bisa menggabungkan lima pola dasar yang sangat dekat dengan indikator kemampuan kognitif anak usia dini.
“Jika bentuk sudah jadi, langsung tempel dengan lem putih dan jemur di bawah sinar matahari. Supaya awet, lapisi clay dengan lapisan tahan air, misal dengan cat semprot transparan,” tambahnya.
Dengan begitu, anak-anak akan temukan pengalaman baru yang tidak dia dapat di gagdet. “Mereka akan berpikir, oh ternyata main dengan clay lebih menarik karena bisa memegang, menarik, dan membuat apa pun yang mereka inginkan,” kata Nirwana. (Vita)

Discussion about this post