PWMU.CO – Salah satu hasil rapat kerja nasional (Rakernas) Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) adalah Forum Guru Muhammadiyah (FGM) pada Kamis kemarin, (12/5). Sebuah forum yang dirancang sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pengajar sekolah Muhammadiyah. Diresmikan oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof Muhadjir Effendy, terpilih sebagai Ketua adalah Pahri SAg MM. “Sarjana agama” yang justru sukses saat memimpin Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Ya, Pahri adalah Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah 7 Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sesuai dengan gelarnya “SAg”, dia memang bukan lulusan Fakultas Teknis dan lainnya yang akrab dengan dunia SMK. Meski demikian, latar belakang itu tidak membuatnya canggung untuk mengajar di SMK. “Saya belajar otomotif dan lain-lain,” kata pria asal Bangkalan ini.
(Baca: Haedar Nashir: Ketika Pendidikan Muhammadiyah Tidak Lagi Modern)
Menjadi “orang” Muhammadiyah, tentu saja tidak terbayang dalam pikiran Pahri sebelum memasuki bangku kuliah. Bahkan, saat akan memilih Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sebagai tempat menimba ilmu seusai SMA, keluarganya juga mempertanyakannya. “Mengapa harus lari ke pendidikan Muhammadiyah,” kata Pahri, menirukan orangtuanya, ketika saat itu ia memutuskan kuliah di UMM.
Maklum saja Pahri adalah adalah santri sebuah pondok pesantren tradisional yang tidak berafiliasi pada Muhammadiyah. Sehingga keputusan kuliahnya saat S-1 di Unmuh diprotes oleh keluarga. “Kan masih banyak lembaga pendidikan selain Muhammadiyah,” cerita suami Nurhayati Ahsana ini menirukan protes keluarganya.
(Baca juga: Anies Baswedan: Ahmad Dahlan Pelopor Pendidikan Modern Indonesia dan Inilah SMK Muhammadiyah yang Siswanya Diburu Dunia Kerja Sebelum Lulus)
Protes semacam itu, pada akhir dekade 1980-an ketika sarana informasi dan teknologi belum semaju sekarang, memang wajar. Informasi tentang Muhammadiyah misalnya, bagi sebagian penduduk desa memang sering disalahfahami. “Orangtua saya khawatir saya menjadi anak yang tidak berbhakti yang mendoakan beliau berdua,” begitu alasan. Bagi kedua orangtua Pahri, warga Muhammadiyah yang tidak mentradisikan “tahlilan” setelah kematian, dianggap sebagai “kedurhakaan” anak terhadap orangtua.
Namun, protes itu ditanggapi secara positif. Justru ia menjadi pendorong baginya untuk terus berbenah lebih baik sekaligus membuktikan kepada keluarganya bahwa pilihannya memang sudah tepat. “Harus mengubah sikap perilaku. Misalnya, ketika disuruh khutbah Jum’at di rumah, mengisi ceramah agama, dan sejenisnya, harus siap dan lebih baik,” ceritanya. Baca selanjutnya hal 2 …