PWMU.CO – Beberapa waktu yang lalu Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) mengadakan Diplomatic Course dengan tema “Penguatan Kapasitas Perempuan untuk Menyampaikan Pesan Perdamaian”.
Hal tersebut disampaikan Ketua PPNA Dyah Puspitarini MPd ketika mengawali materi tentang Peran Perempuan dalam Upaya Menangkal Radikalisme dan Penyampai Pesan Perdamaian, Sabtu (10/11/18).
Dyah menyampaikan materi tersebut dalam kegiatan Musyawarah Kerja Wilayah (Musykerwil) I Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur di Griya Dharma Kusuma (GDK), Jalan Trunojoyo 2-4 Kepatihan, Bojonegoro, yang berlangsung Sabtu-Ahad (10-11/11/18).
Rujukan radikal di negeri ini, kata Dyah, tidak jarang dikonotasikan dengan radikalisme agama, lebih khusus radikal Islam. “Tautan radikal Islam itu bahkan beridentik dengan ekstremis atau jihadis dan teroris yang identifikasinya samar maupun terbuka sering atau pada umumnya tertuju pada golongan tertentu umat Islam,” jelasnya.
Dyah mengatakan, mereka yang menganut paham radikal artinya ingin kembali ke sesuatu yang asli atau akar yang sifatnya mendasar. “Jika beragama, berarti kembali ke fondasi yang murni dan sikap mendasar, yaitu keyakinan seperti akidah. Demikian pula radikal dalam ideologi atau sikap hidup lainnya,” papar perempuan kelahiran 1984 itu.
Menurut Anthony Giddens (1994), lanjutnya, radikalisme adalah suatu paham atau gerakan mengambil sesuatu hingga ke akarnya, taking things by root). “Karenanya, pada awalnya tidak ada yang salah dengan radikal. Boleh jadi karena ingin kembali ke asli atau akar,” ujarnya.
Dyah melanjutkan, sebagian kaum radikalis menjadi “true believers” atau kelompok fanatik buta. “Dari sinilah benih radikalisme yang eksklusif, monolitik, dan intoleran,” kata dia.
Melihat hal tersebut, Dyah berharap perempuan muda Nasyiah harus mampu menjadi penyampai pesan perdamaian di lingkungan sekitarnya.
Menurutnya, yang bisa dilakukan adalah dengan tidak menyebarkan hoax. “Kalau ketemu itu ora usah nggosip. Coba kalau energi itu kita gunakan menyebarkan pesan-pesan perdamaian, kan lebih efektif,” tuturnya disambut tawa peserta Musykerwil I.
Selain itu, kata Dyah, kita sebagai perempuan muda tidak boleh mudah men-justifikasi orang lain. “Ayo kita hormati perbedaan. Jangan pelit mengucapkan terima kasih,” tegasnya.
Dyah juga mengajak peserta untuk mengajarkan nilai-nilai perdamaian yang paling mendasar, yaitu menghargai. “Hargai teman-teman kita yang mempunyai perbedaan pendapat, perbedaan pilihan pilpres mungkin, maupun perbedaan agama,” ajaknya. (Vita)
Discussion about this post