PWMU.CO – Siapa yang di sini belum menikah? Begitulah pertanyaan Nur Laila saat menjadi pembicara seminar bertema Peran Perempuan dalam Membangun dan Mewujudkan Keluarga Sakinah, Mawadah, Warahmah (Samara), dalam acara Musyawarah Kerja Wilayah I Nasyiatul Aisyiyah Jatim, di Griya Dharma Kusuma Bojonegoro, Ahad, (11/10/18)
Pertanyaan itu saja sudah mengundang gaduh. Muncul teriakan peserta yang belum menikah sambil mengacungkan tangan. “Materi ini sangat bermanfaat bagi kalian yang belum menikah apalagi bagi kalian yang sudah menikah,” tuturnya.
Menurut Fasilitator Bimbingan Perkawinan Kemenag Jatim ini tingkat pernikahan di negara ini sangat tinggi. Sayang, hal tersebut berbanding lurus dengan tingkat perceraian yang tinggi. “Angkanya sudah mencapai 400.000 lebih. Sedemikian tingginya membuat hati saya miris. Proses menuju perceraian pasti tidak lepas dari masa geger terlebih dahulu yang sangat menguras tenaga dan emosi,” ungkapnya.
Hal tersebut, menurutnya, akan sangat berpengaruh bagi psikologi suami yang akan menyandang status duda, istri yang akan menyandang status janda, dan masalah tumbuh-kembang anak.
“Berbagai macam persoalan bisa menjadi pemicunya, bisa jadi masalah komunikasi atau ketidaksepahaman idealisme. Maka, hal yang penting untuk dilakukan adalah menyiapkan agar tidak terjadi demikian,” ujarnya.
Perempuan berdarah Surabaya tersebut lalu menjelaskan mengenai keluarga samara. “Sakinah, lanjutnya, memiliki arti kebahagiaan dalam sebuah pernikahan. Mawaddah berarti adanya rasa cinta dalam sebuah pernikahan. Dan rahmah artinya kasih sayang yang dapat memahami hak dan kewajiban masing-masing antara lain memberikan nafkah bagi laki-laki dan peran suami maupun istri,” ungkapnya.
Dalam bahasa Kemenag harus ada rasa kesalingan untuk menuju ke sana. “Ada juga model istri yang bekerja di luar rumah. Namun juga ada suami yang bekerja di luar rumah. Masing-masing harus bertanggungjawab sesuai dengan kesalingan yang harus dijalin sejak dini. Meskipun usia pernikahan tersebut sudah terbilang tua,” tuturnya.
Dia menjelaskan, di Kantor Urusan Agama (KUA) calon pengantin harus mengikuti kursus calon pengantin (suscantin). Lalu namanya berganti rapak (rafa’a, bimbingan) dan setelah ini namanya akan berganti menjadi bimbingan perkawinan (bimwin).
“Dalam bimwin, calon pengantin bisa mengenal masing-masing calonnya. Visi dan misi masing-masing calon pengantin akan dipertemukan. Model seperti ini sangat bagus jika Nasyiah bisa melakukan hal serupa. Di Aisyiyah sudah ada hal yang demikian,” imbuh aktivis Aisiyah Jatim ini.
Gerr-gerran kembali berlanjut saat adanya sesi tanya-jawab. Para peserta sangat antusias dalam bertanya, mulai dari bagaimana mengatasi trauma pernikahan hingga cara menghadapi permasalahan dengan mertua.
Nah, pada saat sesi tanya jawab itu ada peserta yang bertanya terkait perasaan takut yang ia alami jika hendak menikah. Tiba-tiba ada laki-laki yang masuk untuk mendokumentasikan acara dan memotret penanya tadi.
Lalu ‘fotografer’ tadi ditanya Laila, “Sudah menikah belum?” Dia menjawab: “Belum!” Karena yang bertanya belum menikah dan cowok ‘fotografer’ tadi juga belum menikah, para peeserta pun ramai nggojloki. Dan suasana jadi gerr-gerr. (Maharina)
Discussion about this post