PWMU.CO – Dalam beberapa hari terakhir, pemberitaan terkait pemanggilan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (PPPM) oleh pihak kepolisian berkenaan dengan kegiatan bertajuk Apel dan Kemah Kebangsaan Pemuda Islam Indonesia menghiasi banyak media.
Pemanggilan ini memang terasa sangat aneh. Kegiatan ini sudah berlangsung setahun lalu dan merupakan kegiatan Kemenpora yang dilakukan bareng antara Kokam dan Banser.
Info yang saya terima, dari kegiatan ini Kokam menerima bantuan dari Kemenpora sebanyak Rp 2 miliar dan Banser mendapat Rp 3 miliar. Kepanitiaan juga lebih banyak dari Banser. Tapi anehnya, ketika kegiatan ini “dibongkar”, dari pihak Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PPPM) yang menjadi “target” langsung Ketua Umum PPPM Dahnil Anzar Simanjuntak, sementara Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas nyaris tidak atau belum tersentuh.
Pemanggilan Dahnil, sementara Yaqut Qoumas bebas tak dipanggil adalah bentuk ketidakadilan aparat kepolisian. Apakah Dahnil yang belakangan mulai kritis kepada rezim merasa perlu dikerjai, sementara Yaqut Qoumas yang terlihat lebih bisa bermesrahan dengan rezim tak perlu dipanggil?
Pemanggilan Dahnil tak ayal dikaitkan dengan politik menjelang Pilpres 2019. Saat ini Dahnil menjabat sebagai KoordinatorJuru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Sandi. Sebelumnya Dahnil termasuk cukup kritis, meski terkadang juga terlihat berusaha menjilat penguasa, seperti tergambar dari pernyataan-pernyataan Dahnil, termasuk pernyataan-pernyataannya di seputar Aksi Damai 212.
“Penaklukan” Rezim
Sejak mula ada info terkait kegiatan Apel dan Kemah Kebangsaan setahun yang lalu, saya termasuk orang yang keberatan jika Kokam terlibat. Bukan hanya saya, beberapa alumni pimpinan Pemuda Muhammadiyah juga menyarankan Kokam agar tak terlibat dalam kegiatan tersebut.
Menyikapi kegiatan ini, suara Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jateng dan beberapa PWPM lainnya juga tidak utuh.
Kenapa saya tidak setuju? Saya melihat bahwa kegiatan ini tak lebih sebagai upaya “penaklukan” rezim atas semua kekuatan kepemudaan yang berpotensi kritis, dengan maksud agar mendukung atau setidaknya tidak kritis terhadap rezim. Dan cara penaklukan yang khas dari rezim ini adalah meninabobokan organisasi kepemudaan dengan gelontoran uang dalam jumlah gede untuk beragam kegiatan, termasuk kegiatan Apel dan Kemah Kebangsaan tersebut.
Coba bayangkan, hanya untuk Apel dan Kemah Kehangsaan, Pemuda Muhammadiyah diganjar Rp 2 miliar dan Ansor diganjar Rp 3 miliar. Jelas ini cara-cara yang tak mendidik. Cara seperti ini sama halnya mengajari generasi muda untuk menjadi penjilat penguasa.
Bukan hanya untuk kegiatan, gelontoran uang juga konon termasuk berupa “uang bulanan” untuk hampir semua organisasi kepemudaan yang diberikan oleh Kemenpora dalam beberapa waktu belakangan dengan maksud sama: “penaklukan”.
Gelontoran “uang bulanan” ini terbukti ampuh. Nyaris di era Jokowi, terutama dalam beberapa waktu belakangan, tak terdengar ada aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh pentolan aktivis mahasiswa tingkat pusat. Semua nyaris diam membisu. Semua berhasil ditaklukan oleh rezim. Menyedihkan bukan? (*)
Depok, 24 November 2018
Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Ketua I Bidang Organisasi PP Pemuda Muhammadiyah 2006-2010.
Discussion about this post