PWMU.CO – Sebuah sekolah akan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan jika telah menjadi zona konflik. Konflik yang terjadi di sekolah umumnya disebabkan kurangnya komunikasi, kerjasama, dan kolaborasi.
Seperti misalnya yang terjadi pada saat rapat di sebuah sekolah, seorang guru tidak mau hadir karena dalam keseharian guru dan pimpinan rapat ini tidak saling bertegur sapa, ada perasaan tidak suka. Hal seperti inilah yang menghambat kinerja dan produktivitas sekolah.
Demikian yang disampaikan Trainer Irsyad Trust Singapore Muhammad Tarmizi bin Abdul Wahid dalam Training of Trainer (ToT) Education Leader Modul 4, Senin (3/12/18).
Kegiatan yang diadakan Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Hotel Grand Whiz Trawas, Mojokerto, ini berlangsung selama tiga hari, Senin-Rabu (3 -5/12/18).
“Jika sekolah mau sukses, seorang kepala sekolah harus mampu mengatasi konflik yang ada yaitu dengan memperbaiki komunikasi, kerjasama, dan kolaborasi,” ungkap Tarmizi.
Salah satu solusi permasalahan tersebut, lanjut Tarmidzi, bisa dilakukan dengan cara synergy building, yang mengakrabkan satu sama lain, sehingga komunikasi bisa terjalin dengan baik.
Di hadapan sekitar 26 peserta ToT, Pria alumni Universitas Al Azhar Kairo Mesir ini menegaskan, ada enam hal penyebab terjadinya konflik.
“The first is lack of communication. Penyebab terjadinya konflik yang pertama adalah kurangnya komunikasi,” terang pria berkacamata ini. Menurutnya, sebagai kepala sekolah atau pimpinan sekolah penting untuk sering berkomunikasi dengan guru dan staf.
“Misalnya ada sebuah tugas yang harus dikerjakan oleh guru, maka harus dikomunikasikan dengan jelas. Jangan hanya berasumsi bahwa guru sudah sangat paham tentang apa yang harus dikerjakan tanpa adanya komunikasi yang efektif,” terangnya. “Padahal belum tahu guru tersebut paham.”
Yang kedua adalah clash of idea and belief system. Menurut Tarmizi, kepala sekolah, guru, staf mempunyai pemikiran yang berbeda, karena mereka dibesarkan oleh lingkungan keluarga yang mempunyai nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang berbeda. Begitu juga mereka mengenyam pendidikan dengan jurusan yang berbeda. “Akan selalu ada konflik di sekolah terkait perbedaan pemikiran, ide-ide untuk mengembangkan sekolah,” urainya.
“The next is, lack of mentoring system,” ucapnya mengenai penyebab konflik ketiga. Yaitu kurangnya sistem mentoring. Dia menegaskan, seorang pimpinan sekolah atau guru senior hendaknya mampu menjalankan sistem mentoring untuk men-guidance guru junior dan staf dalam hal menyelesaikan pekerjaan dan penugasan sehingga tidak akan terjadi hambatan bahkan konflik untuk penyelesaian tugas.
Penyebab yang keempat adalah top down approach. Tarmizi mengatakan, seorang kepala sekolah jangan hanya memerintah wakil kepala sekolah, guru atau staf, tanpa diberikan kesempatan kepada mereka untuk berkonsultasi, berdiskusi, dengan pimpinan dalam menyelesaikan tugas. Kepala sekolah hanya memerintah dan menyuruh tanpa meminta pendapat si guru, atau bertanya kesanggupan staf dalam menyelesaikan tugasnya.
Tarmizi menyampaikan lack of empathy atau kurangnya empati juga menjadi penyebab terjadinya konflik. Terkadang, ujarnya, sebagai kepala sekolah memberikan beban kerja terlalu banyak pada wakil kepala sekolah, guru, dan staf tanpa memperhatikan perasaan dan keadaan mereka. Apakah mereka capek, membutuhkan bantuan, istirahat, refreshing, piknik, atau bahkan mungkin ada masalah dengan keluarganya.
Penyebab lainnya, the last but not least is self before others, mementingkan kepentingan sendiri dahulu baru kepentingan orang lain. Hal ini, menurut dia, sebaiknya tidak ada dalam pikiran seorang kepala sekolah. “Seharusnya kepala sekolah lebih mendahulukan kepentingan guru dan karyawan dari pada kepentingannya sendiri.
Untuk semakin menambah pemahaman terkait konflik dan solusi yang terjadi di sekolah Tarmizi meminta peserta untuk menyebutkan konflik-konflik yang terjadi dan yang mungkin terjadi di sekolah. Di antaranya guru senior yang menolak kurikulum baru, konflik pergantian kepemimpinan, guru yang hanya mau mengajar siswa pandai, kecemburuan guru senior terhadap guru junior dan konflik terkait perubahan sistem yang berlaku di sekolah.
Dari konflik yang ada, peserta diminta untuk mencari solusi yang tepat sebagai penyelesaian konflik. Dengan adanya diskusi tentang konflik dan solusi, kepala sekolah yang mempunyai konflik yang sama akan menemukan beragam solusi dari hasil diskusi.
Manfaat ini juga dirasakan oleh Enik Chairul Ummah MSi MPd, Kepala SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo. “Pengalaman konflik dan solusi yang disampaikan peserta ToT bisa menjadi refensi saya jika mengalami konflik yang sama,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Anis Shofatun SSi MPd, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPM 12 GKB, Gresik. Menurutnya kegiatan ini sangat menarik untuk bisa jadi bekal seorang leader terkait wawasan penyelesaian konflik yang terjadi sekolah.
“Konflik tidak bisa dihindari namun harus dihadapi dan di-manage dengan baik, agar kondisi sekolah tetap kondusif dan produktivitas SDM dan sekolah terus terjaga,” tegasnya. (Tanti)
Discussion about this post