PWMU.CO – Pada saat pemimpin Jepang sudah memvisikan sebuah masyarakat baru Society 5.0, apakah kita saat ini, sebagai bangsa, sebagai umat, berada pada jalur yang benar menuju puncak kejayaan menjadi bangsa yang berdaulat, adil dan makmur, serta cerdas? Atau sebaliknya kita malah meluncur ke bawah, terjajah, timpang dan miskin serta dungu menuju jurang kehancuran bagaikan busa di laut, banyak tapi tak berarti?
Jika yang terjadi adalah yang kedua, keterpurukan multidimensi kita saat ini disebabkan karena kita sebagai umat, terutama para elitenya, ikut-ikutan Barat secara sekuler memahami pembangunan semata-mata sebagai upaya peningkatan kapasitas produksi dan konsumsi material belaka.
Bahkan kalau perlu itu dilakukan dengan berutang. Padahal utang, apalagi yang ribawi, adalah instrumen penjajahan modern. Jalan Barat itu sudah terbukti jalan yang paling merusak ekosistem planet ini.
Utang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Saat ini kebanyakan masyarakat tidak bisa lagi membayangkan hidup tanpa utang. Dikatakan oleh cendekiawan dan ulama bahwa bunga bank dan uang kertas itu harus diterima karena darurat. Jika darurat, mengapa bertahun-tahun? Padahal Allah dan Rasul-Nya sudah menyatakan perang atas riba? Kita tahu kita pasti kalah.
Literasi, kemampuan kita berimajinasi, membuat fiksi, makin buruk. Seperti kita tidak mampu mengimajinasikan hidup tanpa utang, kita pun tidak bisa membayangkan hidup tanpa sekolah. Budaya berutang itu dimulai saat persekolahan kita biarkan memonopoli sistem pendidikan kita, lalu diam-diam menjadikan kesempatan belajar—yang sebenarnya melimpah—sebagai komoditi langka yang makin mahal.
Monopoli radikal persekolahan atas sistem pendidikan kita juga telah melemahkan keluarga sebagai satuan pendidikan yang pertama dan utama, serta menjadikan masjid-masjid kita sekedar menjadi tempat ibadah ritual belaka. Pada saat pendidikan oleh Pemerintah dipersempit menjadi persekolahan, wajib belajar diplesetkan sebagai wajib bersekolah, maka masyarakat mulai kesulitan untuk membedakan antara belajar dan bersekolah, kompetensi dan ijazah, kebutuhan dan keinginan, isi dan bungkusnya.
Melalui sistem persekolahan (paksa massal), kehidupan secara diam-diam direduksi menjadi sekadar persoalan kompetensi tekno-ekonomi, sedangkan budaya, misalnya, disebut sambil lalu saja. Ekspresi seni sebagai proses-proses kebudayaan pun akhirnya dirumuskan sebagai bagian dari “industri kreatif”. Padahal esensi kehidupan menurut konstitusi kita adalah kemerdekaan, sehingga membangun adalah memelihara dan memperluas kemerdekaan setelah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Perlu dicermati bahwa bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah untuk membentuk jiwa merdeka. Di atas lahan jiwa merdeka itulah karakter jujur, amanah, peduli, dan cerdas dapat bertumbuh kembang sehat. Pendidikan adalah perluasan kesempatan membaca, mengalami, menulis, dan berbicara. Pendidikan tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan yang makin birokratik.
Sejarah Indonesia modern kemudian mencatat bahwa sebagai bangsa kita gagal menyediakan prasyarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka.
Kegagalan ini dan keterpurukan multidimensional sebagai konsekuensinya itu bukan kebetulan, tapi memang by design sebagai hasil dari penjajahan berbentuk baru yang oleh Bung Karno disebut nekolim. Penjajahan bentuk baru remotely controlled ini dimulai dari penjajahan pikiran yang disusupkan melalui instrumen teknokratik yang disebut persekolahan, ie. the school system, lalu diikuti serangkaian institusi ekstraktif seperti IMF dan WTO.
Tidak banyak yang menyadari bahwa persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Persekolahan dirancang untuk menyiapkan tenaga kerja terampil dan pasar yang dibutuhkan bagi industrialisasi besar-besaran melalui investasi asing, terutama di sektor pertambangan.
Persekolahan paksa massal sebagai instrumen teknokratik terobsesi dengan mutu sehingga lebih mengutamakan keseragaman, keteraturan, kepastian, dan kedisiplinan melalui standard. Jadi yang sesungguhnya terjadi memang pendisiplinan massal seperti yang kini dialami oleh masyarakat Muslim Uyghur di Xinjiang, China. Padahal keberagaman, ketidakteraturan, ketidakpastian, dan keliaran adalah fitrah kehidupan.
Yang terjadi dalam masyarakat industri kemudian adalah manipulasi pikiran secara sistemik, terstruktur dan massif melalui persekolahan. Di sinilah seni dan budaya mengalami pengerdilan, pengasingan dan penelantaran secara sengaja. Sir Ken Robinson mengatakan bahwa sekolah adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas krisis sumberdaya manusia selama 40 tahun terakhir ini.
Tidak saja seni, budaya, dan olahraga terpinggirkan dalam pendidikan dasar, secara umum relevansi (personal, spasial dan temporal) dikalahkan oleh mutu. Di banyak sekolah murid mungkin belajar banyak, kecuali menjadi dirinya sendiri yang unik. Pendidikan menjadi tidak bermakna bagi banyak anak. Banyak sekolah hanya menjadi tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar.
Setelah pelemahan keluarga, masjid bukan lagi menjadi simpul kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masjid dikerdilkan hanya menjadi tempat suci tempat kita melakukan ritualitas sebagai rutinitas. Sementara itu, kehidupan kita makin mengalami dekadensi moral: penyalahgunaan narkoba, pornografi, prostitusi, kekerasan dan LGBT, serta korupsi. Jawa Timur mencatat sebagai provinsi dengan angka prevalensi AIDS, penyalahgunaan narkoba, dan angka perceraian tertinggi di Indonesia.
Kita mesti mengingat amanah Ki Hadjar dan melihat kembali pendidikan sebagai strategi kebudayaan untuk menjadi bangsa merdeka, bukan sebagai instrumen teknokratik belaka. Kita perlu menguatkan peran keluarga dan masyarakat dalam sistem pendidikan kita. Di abad internet dan menyongsong Society 5.0, kita kembangkan jejaring belajar (learning webs) yang lentur dan luwes, dengan mengutamakan relevansi, bukan mutu. Di dalam jejaring itu keluarga dan masjid menjadi simpul-simpul Self Organised Learning Environment yang mandiri.
Dengan strategi itulah kita berharap melalui pendidikan kita akan berhasil menyediakan syarat budaya sebagai bangsa merdeka.
Rosyid College of Arts and Maritime Studies,
Gunung Anyar 1 Februari 2019
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.
Discussion about this post