PWMU.CO – Ketua Umum PSI Grace Natalie boleh saja mengidentifikasi diri dan partainya sebagai pihak paling nasionalis sejagat. Tapi jelas tidak tepat jika dia menganggap bahwa kaum nasionalis harus menolak mentah-mentah keberadaan regulasi-regulasi berbasis syariah.
Mengapa demikian? Salah satu purwarupa nasionalis di Tanah Air adalah Bung Karno. Bahkan Bung Karno, yang menyebut dirinya sebagai nasionalis, justru punya obsesi menyejajarkan kalangan nasionalis, agamis, dan lainnya (kalangan ketiga ini sudah tutup buku).
Sang Proklamator tidak membusungkan dada nasionalismenya sembari memunggungi kubu agama. Itu satu hal.
Lain hal, Bung Karno tidak menolak apalagi memusuhi kalangan yang berupaya memunculkan warna keislaman dalam kehidupan bernegara. Tapi, Bung Karno menetapkan syarat, upaya itu harus dilakukan melalui gedung wakil rakyat.
Jadi, resep Bung Karno: Pilihlah sebanyak-banyaknya wakil rakyat yang merepresentasikan kalangan Islam agar dari gedung perwakilan rakyat dihasilkan produk-produk kebijakan yang berwarna Islam. Begitu—kurang lebih—arahan Bung Karno kepada kalangan yang ingin mengunggulkan Islam di Republik Indonesia.
Menenggak resep Bung Karno di atas, bisa dipahami: Sepanjang Perda Syariah dibikin dari hasil pergulatan wakil-wakil rakyat, dan wakil-wakil dari kubu Islam memenangkan pergulatan itu, maka tidak ada alasan untuk sinis apalagi anti Perda Syariah.
Perda Syariah yang dihasilkan dari proses demokratis, tanpa menihilkan perlibatan wakil-wakil rakyat, tidak bisa disikapi sebagai barang haram.
Grace perlu lebih serius mengunyah bacaan-bacaan sejarah, khususnya ajaran-ajaran Bung Karno. Mengklaim diri paling nasionalis, tapi pada saat yang sama mempertontonkan tindak-tanduk salah kaprah tentang nasionalisme, terkesan hanya merefleksikan jiwa infantil. Melambai-lambai, jejingkrakan sambil memunculkan bebunyian berisik, ingin eksis. Tapi tak layak dipedulikan. (*)
Kolom Reza Indragiri Amriel.
Discussion about this post