PWMU.CO – Dibandingkan tahun 2009 dan 2014, pemilu di tahun 2019 yang paling sarat kecurangan. Hal itu diungkapkan Mustofa Nahrawardaya saat mengisi Kajian Ahad Pagi di Masjid An Nur, Komplek Perguruan Muhammadiyah Sidoarjo, Jawa Timur, Ahad (21/4/19).
Kecurangan tersebut dilakukan, kata Tofa, panggilannya, disebabkan besarnya hasrat untuk berkuasa. “Lihat saja fenomena kecurangan yang masif. Seperti kertas suara yang sudah tercoblos, di dalam maupun di luar negeri. Serta adanya pembakaran TPS dan penggelembungan suara salah satu paslon capres-cawapres,” ujar anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu.
Fenomena yang disebut kecurangan tadi, kata alumni IKIP Surabaya itu, karena menyalahi prosedur dan cenderung disengaja. “Ada input data dari KPU yang salah. Lalu diakui KPU karena alasan petugas input data yang kecapekan. Menurut saya itu curang,” ungkap dia.
Harusnya, lanjut dia, KPU tidak boleh mengatakan hal tersebut jika ada jaminan netralitas orang-orang yang bertugas sebagai penginput data. “Jika tidak ada jaminan, bisa jadi orang-orang itu tidak netral. Manusia kan punya pilihan,” jelasnya.
Dia lalu mengingatkan jika pemilu bisa dianggap damai saat terselenggara secara jujur dan adil (jurdil). “Kalau tidak jurdil ya tidak bisa damai. Salah satu bentuk jurdil itu ya tidak boleh curang. Kalau curang bagaimana bisa adil? tanya dia.
Kecurangan lain yang menurut dia semakin masif adalah di dunia maya. Menurut Tofa, separuh penduduk dunia atau sekitar 4 miliar orang menggunakan internet.
“Kebanyakan menggunakan sosial media. Dari sosmed-lah penyesatan-penyesatan informasi itu sengaja dibuat untuk menjatuhkan lawan politik dan melanggengkan kekuasaan,” ungkap dia sambil memberi contoh Sambar sebagai salah satu kelompok yang memproduksi meme hoax yang dibagikan di media sosial.
Padahal dalam Fikih Informasi yang telah dibuat MPI PP Muhammadiyah dan segera dibukukan itu, kata Tofa, warga Muhammadiyah diingatkan agar berpedoman dalam Alquran surat Alhujurat ayat 6.
“Poin pentingnya adalah harus tabayyun. Cek kebenaran informasi tersebut. Jika salah maka jangan dibagikan. Jika benar, maka lihat ada manfaatnya atau tidak jika kita bagi,” jelas aktivis medsos pemilik akun Twitter @TofaLemonTofa dengan 25 ribu follower ini.
Maka, lanjut dia, memilih pemimpin itu penting. “Rusaknya rakyat karena rusaknya penguasa atau pemimpin. Rusaknya pemimpin karena rusaknya ulama. Ulama menjadi rusak karena dia tidak bisa menasehati pemimpinnya,” ujar Mustofa mengutip pendapat Imam Al Ghazali. (Darul)
Discussion about this post