PWMU.CO – Selama ini kata ‘dermawan’ selalu diasosiasikan dengan sosok orang kaya. “Menurut terminologi umum masyarakat kita, yang disebut dermawan adalah orang kaya,” kata Ustadz H Hasan Abidin MPdI.
Tapi dia tidak setuju dengan pengertian itu. “Yang disebut dermawan (dalam terminologi Alquran) adalah orang yang bertakwa,” ujarnya dalam ceramah Tarawih di Masjid At Taqwa, Wisma Sidojangkung Indah, Menganti, Gresik, Selasa (7/5/19).
“Kenapa?” tanya Hasan retoris. “Karena ia bisa infak ketika kaya. Ketika miskin ia juga infak,” jelasnya.
Kedermawaan dalam ketakwaan, menurutnya, tidak digantungkan pada banyak sedikitnya harta. Tidak digantungkan kaya atau miskin. “Tapi digantungkan pada kemauan. Mau ndak (infak)? “Kalau uangnya sedikit, mau ndak infak. Kalau uangnya banyak mau ndak infak,” ujarnya.
Kepala SMA Muhammadiyah 8 Cerme Gresik itu menerangkan, kedermawanan itulah salah satu ciri orang bertakwa, yang dalam konteks Ramadhan adalah tujuan utama diwajibkannya puasa.
Hasan merujuk ciri orang bertakwa itu dari surat Ali Imran ayat 133-134. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(Yaitu) Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
“Jadi yang pertama tujuan puasa adalah kita menjadi dermawan. Yang kedua adalah wal kadhiminal ghaidha
wal afina aninnas. Mampu menahan amarah, mampu memaafkan,” urainya.
“Artinya apa? Kita punya kendali emosional. Emosi kita bisa kita kendalikan. Kapan kita mau marah, kapan kita mau maafkan, kapan kita mau meredam dan seterusnya. Sehingga singkat crita puasa mengajakan kita tidak dendam,” jelas dia.
Makna: ‘Saya sedang berpuasa’
Mubaligh yang tinggal di Desa Boboh, Menganti, Gresik, itu menyampaikan bagi orang beriman—yang dipanggil Allah untuk berpuasa dalam surat Albaqarah ayat 183—puasa itu sebuah kenikmatan.
“Orang yang tidak beriman, Islam yang nggak beriman, coba Sampeyan takoki (tanyai) nelongso, sengsara. Sambate ae luoro,” ungkapnya.
Berbeda dengan orang beriman, mereka benar-benar dapat menikmati puasa. Menikmati kelaparan, menikmati kehausan, menikmati batasan-batasan yag sudah ditentukan Allah.
“Ketika kita sedang berpuasa ada orang ngajak gelut, ngajak tukaran (mengajak bertengkar), maka kita diperintahkan Nabi berkata, inni shaimun, saya sedang berpuasa,” katanya.
Menurut Hasan, perkataan itu bukan menunjukkan bahwa orang berpuasa itu lemah sehingga tidak bisa ‘melayani’ tantangan itu. “Tapi justru orang berpuasa itu menyimpan energi yang luar biasa. Sekaan-akan kita mengatakan, ‘Ojok macem-macem, aku lagi poso.’ Bukan dengan lemes, berkata, ‘Sepurone yo aku isek poso‘,” terang Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik ini.
Kekuatan energi puasa itu dicontohkan Hasan dalam Perang Badar dan Fathul Mekkah. “Tiga ratus orang puasa melawan 1000 orang pesta sebelum perang. Menang (yang) tiga ratus. Fathul Mekkah jalan dari Madinah ke Mekkah untuk menakukkan Kota Mekkah, (juga terjadi di bulan) Ramadhan,” ungkapnya.
Jadi, Hasan menegaskan, orang-orang yang sedang berpuasa itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pantas jika dia memiliki sifat-sifat unggul sebagaimana disinggung dalam surat Ali Imran 133-134. (MN)
Tarawih di Masjid Intishorul Islam, Jamaah Meneteskan Air Mata
Ustadz Baharuddin menyampaikan tausiah dalam acara Tabligh Akbar seusai shalat Tarawih di Masjid Intishorul Islam...
Discussion about this post