PWMU.CO – Pasca-Pemilu 2019, istilah makar ramai menjadi bahasan di berbagai media massa. Ditilik dari sisi bahasa (lughat), makar berasal dari bahasa Arab, dari kata makran, masdar, yang berarti menipu, memperdaya, membujuk, mengkhianati, dan mengelabui. Sementara dalam KUHP, makar merupakan terjemahan dari bahasa Belanda: aanslag, yang diartikan sebagai serangan yang bersifat kuat.
Dalam bahasa Inggris, makar diterjemahkan sebagai violent attack, fierce attack. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut makar dalam tiga arti: akal busuk, tipu muslihat; perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya; perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Dalam Alquran terdapat cukup banyak ayat yang bicara tentang makar. Menariknya, ayat-ayat makar tersebut menjelaskan bahwa pelaku makar selalu dilakukan oleh mereka yang berkuasa, dzalim, curang, tidak jujur, dan kafir. Bukan mereka yang dikuasai, mustadzafin, dicurangi, jujur, dan beriman.
Sebut saja dalam surat Ali Imran ayat 54, “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembuat tipu daya.” Ayat ini menjelaskan tentang sekelompok pemuka Bani Israil yang bermaksud menyerang Isa, berbuat jahat dan menyalibnya. Ketika mereka telah bersekongkol, kemudian melapor kepada raja yang kafir saat itu, bahwa ada seorang yang menyesatkan rakyat, melarang taat pada raja, merusak rakyat, dan lain-lainnya, sehingga berhasil memancing amarah raja. Raja pun mengirim pasukan untuk mencari dan menangkap Isa untuk disalib dan disiksa.
Ketika pasukan mengepung rumahnya, mereka mengira telah berhasil menangkapnya, ternyata Allah menyelamatkannya dari kepungan mereka. Allah mengangkatnya dari lubang dinding rumah itu ke langit, dan kemudian menjadikan salah seorang yang berada di dalam rumah itu serupa dengannya.
Ketika pasukan itu memasuki rumahnya di kegelapan malam, mereka meyakini bahwa ia adalah Isa, lalu menangkap, menyiksa, menyalib serta menaruh duri pada kepalanya. Hal itu merupakan bentuk tipu daya Allah terhadap mereka. Karena sesungguhnya, Allah telah menyelamatkan Isa dan mengangkatnya dari hadapan mereka, meninggalkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan, namun mereka yakin telah berhasil dalam misi pencariannya itu.
Begitu juga dalam surat Al-Anam ayat 123, “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya di dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya,” pelaku makar dialamatkan pada penjahat-penjahat terbesar, yang kalau merujuk pada beragam tafsir dikaitkan dengan penguasa.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait makna: pembesar-pembesar yang jahat agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu, yaitu Kami jadikan orang-orang jahat mereka berkuasa, lalu mereka melakukan kedurhakaan. Apabila mereka melakukan hal tersebut, Kami binasakan dengan azab. Mujahid dan Qatadah mengatakan serupa bahwa pembesar-pembesar yang jahat, maksudnya adalah para pembesar dan para pemimpinnya.
Selanjutnya surat Al-Anfal ayat 30: “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”
Ayat ini berkenaan dengan tipu daya kafir Quraisy yang mencoba untuk membunuh Rasul Muhammad. Allah perlihatkan kepada Rasul Muhammad akan hal itu, maka Ali bin Abi Thalib tidur di tempat tidur Rasul Muhammad, sedangkan Rasul Muhammad keluar hingga sampai di Gua Tsur. Sementara orang-orang kafir malam itu menjaga Ali bin Abi Thalib yang diduga Rasul Muhammad. Pada saat memasuki pagi hari, mereka menyerbu. Saat melihat Ali, mereka terperanjat kaget. Di sinilah sesugguhnya Allah telah mengembalikan tipu-daya yang mereka buat.
Terakhir surat Al-Mukmin ayat 45: “Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk.” Makar dalam konteks ayat ini bercerita soal tipu daya Firaun kepada Musa. Akhirnya Allah membalas tipu daya Fir’aun dengan menenggelamkannya di Sungai Nil.
Dari beberapa contoh ayat di atas, makar setidaknya dapat dipahami dalam tiga hal. Pertama, sebagai persekongkolan jahat, tipu daya, dan upaya jahat yang dilakukan oleh orang-orang kafir kepada orang beriman.
Kedua, sejatinya pelaku makar adalah mereka yang memiliki kuasa politik, dan dzalim (bahkan fasik) untuk menindas kaum yang lemah, dengan berbagai tipu daya politik dan kekuasaan yang dimilikinya.
Ketiga, para penguasa pembuat makar biasanya dalam dirinya terjangkit paranoid.
Dalam perkembangannya, makar sebagaimana diceritakan AlQuran mengalami distorsi luar biasa. Pelaku makar yang identik dengan mereka yang berkuasa, dzalim, curang, dan tidak jujur, dipahami sebaliknya menjadi mereka yang nir-kuasa. Pelaku makar menjadi identik dengan mereka yang melawan, memprotes, dan menuntut keadilan atas kesewenang-wenangan penguasa.
Pasca-Pemilu 2019, beberapa tokoh yang juga pendukung Prabowo Subianto–Sandiaga S. Uno ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan makar, mau menggulingkan kekuasaan yang sah.
Pasal yang digunakan untuk menjerat mereka adalah pasal makar, pasal karet yang lazim diterapkan oleh penguasa otoriter, paranoid, dan tak demokratis. Kalaupun terlihat demokratis, demokrasi yang diterapkan sebatas sebagai instrument untuk mengelabui perangai-perangai kekuasaan yang sejatinya sewenang-wenang dan tak demokratis.
Mentersangkakan mereka dengan tuduhan makar, mau menggulingkan kekuasaan adalah tuduhan yang berlebihan. Bagaimana mungkin mereka dituduh mau menggulingkan kekuasaan ketika semua alat dan kekuatan negara ada di genggaman penguasa. Kepolisian dan militer masih di bawa kendali penguasa. Mereka hanya memprotes, mengkritik atas pelaksanaan pemilu yang sangat curang. Mereka hanya mengkritik atas ketakjujuran dan ketakadilan penyelenggara pemilu, dan itu sah dalam negara demokrasi.
Nalar yang waras tentu bisa membedakan antara memprotes dan mengkritik dengan makar. Hanya penguasa paranoid yang menganggap kritik dan protes sebagai makar. Sementara ketentuan perundang-undangan yang terkait makar sendiri tidak jelas, sangat multi tafsir, dan terbukti selama ini potensial untuk disalahgunakan oleh siapapun yang berkuasa. Sekian. (*)
Kebumen, 4 Juni 2019
Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, dosen pada Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ.
Discussion about this post