PWMU.CO – Bisa dibayangkan bagaimana susana ketika anak-anak berkumpul di suatu tempat. Apalagi jumlahnya banyak, sampai puluhan. Tentu sangat riuh dan bising. Mereka berbicara, bergurau bahkan bertengkar. Tak peduli di tempat ibadah seperti masjid. Shalat di masjid jadi tak tenang karena riuhnya suara anak-anak. Shalat di masjid sekolah, bersama anak-anak, butuh kesabaran ekstra agar tidak terganggu. Untuk tenang saja butuh perjuangan ekstrakeras, apalagi khusuk.
Tapi siang itu saya mengalami hal yang berbeda saat shalat Dhuhur di Masjid PB Sudirman Malang. Masjid tersebut menyatu dengan SD Muhammadiyah 9 Malang. Usai adzan, para siswa duduk berjajar rapi menempati shaf. Mereka tahu, sebagai anak-anak tidak boleh menempati shaf pertama. Maka barisan anak-anak berseragam merah muda itu mulai shaf kedua dan seterusnya. Dua menit menjelang iqamah, anak-anak itu berdiri rapi, lurus, dan rapat.
Subhanallah. Tidak ada suara berisik layaknya yang terjadi pada kumpulan anak-anak. Saat iqamah dikumandangkan—oleh anak-anak—mereka sudah berada di shaf masing-masing dengan dengan rapi tanpa suara. Suasana shalat Dhuhur siang yang terik itu begitu tenang. Seperti shalat dengan sedikit jamaah. Saat menoleh salam, saya saksikan ada empat shaf di belakang yang ditempati siswa laki-laki. Begitu banyak anak, tapi mereka tetap tenang.
Saya pikir usai salam mereka akan berhamburan keluar sambil mengeluarkan suara bising, khas anak-anak. Ternyata tidak, mereka tetap duduk dengan mulut komat-kamit sambil jempolnya melewati buku-buku jarinya. Rupanya mereka tengah berdzikir dengan suara sir, tak bersuara. Usai itu kedua tangannya diangkat, berdoa. Mereka dengan tertib meningggalkan masjid, tapi beberapa di antaranya masih salat sunnah bakdiyah.
Siswa yang ikut shalat berjamaah itu berasal dari kelas IV, V dan VI. Siswa pria berada di depan, sedangkan siswa perempuan berada di shaf paling belakang. Sama seperti siswa pria, tak terdengar suara di shaf perempuan. Usai shalat wajib dan sunah, mereka mengemasi mukena dengan tertib tanpa berisik.
Ternyata anak-anak yang biasa ribut itu bisa ditenangkan saat shalat. Tentu butuh perjuangan ekstrakeras dari para ustad dan ustadzah yang mengawal kegiatan ibadah itu. Tampak kepala sekolah Soni Darmawan mengawasi siswanya.
Pengalaman yang sama juga terjadi di SMK Muhammadiyah Kepanjen. Khatib belum datang, tapi semua shaf sudah dipenuhi oleh anak-anak yang duduk dengan tenang. Ada beberapa guru yang mengawasi mereka, tapi tidak sampai ada yang menegur siswa yang bandel. Semuanya tenang tanpa berisik.
Mendidik anak-anak agar bisa seperti itu butuh kerja keras dan kerja ikhlas. Ustad dan ustadzah harus menjadi teladan bagi anak didiknya. Pendidikan dengan teladan lebih mengena ketimbang dengan amarah dan ancaman.
Di beberapa sekolah, anak-anak yang diwajibkan Jumatan misalnya, harus dijaga oleh guru agamanya. Tentu saja guru agama itu kewalahan menghadapi anak-anak yang tak bisa diam badan dan lisannya.
Alhasil, Jumatan di sekolah tidak tenang, apalagi khusuk. Riuhnya bukan main. Apalagi para gurunya baru masuk ke masjid atau musala saat khutbah dimulai, bahkan ada yang baru masuk saat khutbah akan berakhir. Tentu ini bukan teladan yang baik.
Kolom oleh Husnun N Djuraid, Takmir Masjid Cut Nyak Din Malang.
Discussion about this post