Pesantren dalam Pusaran Musibah oleh Prima Mari Kristanto, aktivis Muhammadiyah tinggal di Lamongan.
PWMU.CO – Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor baru saja viral dan menghadapi ujian berat dengan wafatnya salah satu santri karena penganiayaan seniornya.
Alhamduillah telah dilakukan ishlah antara pihak Gontor dengan pihak keluarga korban dengan pemberian beasiswa pendidikan sampai strata tiga untuk adik korban. Polisi pun juga sudah mengusut kasus ini secara hukum.
Musibah tidak seorang pun menginginkan. Tetapi sebuah peristiwa tentu ada hikmah dan ibrah untuk perbaikan ke depan.
Nama Gontor lebih beken daripada nama aslinya yaitu Pondok Pesantren Darussalam. Dari penuturan masyarakat setempat, nama Gontor berasal dari kreta basa: nggon kotor. Tempat yang kotor.
Katanya, di tempat itu daerah kemaksiatan sebelum dibangun pesantren pada abad ke-18. Sejarah panjang sejak berdiri, Gontor ikut menjadi saksi peristiwa Madiun Affair 1948 dengan teror-teror PKI yang mengerikan. Seperti pondok bobrok, santri mati.
Pada masa itu menjadi santri pondok pesantren termasuk di Gontor butuh nyali berani mati. Aksi-aksi sepihak aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) menyasar pondok pesantren sebagai salah satu target penting.
Sebelum menyandang nama ’modern’, pondok pesantren yang dirintis Kiai Sulaiman Jamaluddin pada abad ke-18 (tahun tidak diketahui) sebagaimana dilansir situs gontor.ac.id memiliki 40 santri.
Pembaruan sistem pendidikan yang modern dilakukan oleh tiga dari tujuh putra-putri Kiai Santoso Anom Besari. Tiga orang yang kemudian dijuluki Trimurti disebut mampu mewujudkan cita-cita untuk membangun Pondok Gontor Baru yang kini dikenal dengan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Tiga pembaharu Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor tersebut adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fannani, dan KH Imam Zarkasyi.
Pondok Modern Darussalam Gontor resmi berdiri pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345 H. Pondok Modern Darussalam Gontor dibuka mulai jenjang pendidikan dasar bernama Tarbiyatul Athfal.
Selanjutnya pada tanggal 19 Desember 1936 (5 Syawal 1355) mendirikan Kulliyatu-l-Muallimin al-Islamiyah (KMI). Tugas KMI antara lain menyusun program akademis bagi para santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren ini.
Tokoh Besar
Sejumlah tokoh bangsa lahir dari Gontor antara lain cendekiawan Nurcholis Majid, budayawan Emha Ainun Najid meskipun tidak tamat, kemudian tokoh PKS Hidayat Nur Wahid.
Dua ormas terbesar di tanah air, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, pernah dipimpin alumni Gontor. Yaitu Prof Dr Din Syamsuddin dan KH Hasyim Muzadi.
Kiprah alumni Gontor di bidang keilmuan dan politik yang semakin moncer membuat daya tarik Gontor semakin besar di mata masyarakat. Banyak orangtua menginginkan anaknya bisa menjadi ”orang” jika mengenyam pendidikan di Gontor.
Menyikapi animo masyarakat yang besar, manajemen Gontor tampak memberikan kesempatan luas dengan membuka banyak cabang di luar Ponorogo. Seiring dengan perkembangannya, pesantren ini memiliki 12 Kampus Gontor Putra dan 8 Kampus Gontor Putri. Lokasi kampus atau pesantren ini juga telah tersebar di berbagai daerah, mulai dari Aceh hingga Sulawesi.
Pendidikan Tinggi
Dalam perkembangan terkini Gontor telah mengembangkan jenjang pendidikan tinggi dengan nama Universitas Darussalam sejak tahun 2014. Alumni dan non alumni Gontor memiliki pilihan belajar pada fakultas ushuluddin, tarbiyah, syariah, ekonomi manajemen, humaniora, ilmu kesehatan, sains dan teknologi pada jenjang strata satu.
Program pasca sarjana diberikan pilihan akidah dan filsafat Islam, pendidikan bahasa Arab dan hukum ekonomi syariah untuk jenjang strata dua. Program strata tiga atau doktoral terdapat pilihan akidah dan filsafat Islam. Fakultas kedokteran sedang disiapkan di kawasan Mantingan Ngawi Jawa Timur.
Apa yang terjadi barusan pada Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor sebagai musibah dan bahan evaluasi seluruh model pendidikan pesantren di Indonesia. Muhammadiyah yang tengah membangkitkan kiprah pendidikan pesantrennya diharapkan ikut memberikan warna semakin cerah dalam dunia kepesantrenan.
Wafatnya santri di pondok pesantren tidak akan mengurangi citra mulia pesantren sebagaimana wafatnya Habil oleh Qabil tidak membatalkan status kenabian Adam alaihi salam sebagai orangtua keduanya.
Tidak ada gading yang tidak retak, pendidikan Islam termasuk pesantren tetap relevan menyintasi perkembangan zaman. Proses hukum yang adil perlu didukung dalam menegakkan marwah pesantren Gontor tanpa harus menyudutkan para qiyadah bersama para santrinya yang tidak bersalah.
Editor Sugeng Purwanto