PWMU.CO – Pemerintahan Prabowo-Gibran secara resmi membagi kementerian pendidikan menjadi tiga bagian: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendiknas), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti), serta Kementerian Kebudayaan.
Selanjutnya, bagaimana nasib program Merdeka Belajar yang diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim? Apakah program tersebut perlu diteruskan atau tidak?
Dilansir dari web um-surabaya.ac.id, Achmad Hidayatullah PhD, seorang pakar pendidikan dari UM Surabaya, berpendapat bahwa pelaksanaan Kurikulum Merdeka harus dievaluasi dengan seksama.
Menurutnya, secara umum, Kurikulum Merdeka yang telah diterapkan tidak benar-benar memberikan kebebasan. Ia menyebutkan bahwa guru dan dosen seolah-olah diberi kebebasan, tetapi kenyataannya, kurikulum ini justru menambah beban dan kesibukan mereka dengan urusan administrasi.
“Dosen dan guru lebih sibuk karena beban administrasi yang mengancam kepangkatan daripada meningkatkan kualitas diri dan siswa,” tutur Dayat Selasa (22/10/2024).
Menurut Dayat, masalah merdeka belajar juga terkait dengan tingginya biaya kuliah di pendidikan tinggi, yang membuat akses pendidikan tinggi tetap sulit bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
“Memang, pemerintah telah berupaya memberikan akses yang luas untuk memberikan akses pendidikan tinggi bagi semua orang, dengan dukungan KIPK bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Namun, rakyat tidak benar-benar merdeka untuk mengakses pendidikan tinggi, karena biaya kuliah semakin tinggi,” tambahnya.
Menurut Dayat, saat ini perguruan tinggi diberi kebebasan untuk bersaing satu sama lain layaknya di pasar bebas. Akibatnya, perguruan tinggi tidak hanya semakin mahal, tetapi juga kualitasnya semakin terabaikan karena mereka lebih fokus pada aspek ekonomi dengan menerima mahasiswa sebanyak mungkin meskipun dengan biaya yang tinggi.
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa beberapa kebijakan dalam kurikulum harus dievaluasi dengan serius. Contohnya adalah program IISMA, yang menawarkan beasiswa untuk pengalaman belajar di luar negeri.
Menurut Dayat, program ini berlangsung terlalu singkat, tidak memiliki pola seleksi yang jelas, dan tidak mendukung keadilan sosial, terutama bagi individu dari latar belakang ekonomi yang lemah. Selain itu, program ini juga memerlukan biaya yang cukup besar.
“Akan lebih baik jika program ini dihapus dan biayanya dialihkan untuk memperkuat program KIP-K dan menaikkan besaran beasiswa mereka yang kuliah di luar negeri. Karena di tengah kondisi global yang semakin kritis, biaya hidup di luar negeri mahal, beasiswa yang diterima mahasiswa Indonesia tidak cukup untuk membuat mahasiswa hidup layak selama belajar,” tambahnya lagi.
Dayat menekankan bahwa meskipun kurikulum ini bertujuan untuk membentuk karakter Siswa. Termasuk mengembangkan sikap mandiri, motivasi, dan kemampuan berpikir kritis, beberapa kewajiban yang dibebankan kepada guru, seperti mengisi e-kinerja di platform Merdeka Belajar, malah mengurangi waktu guru untuk meningkatkan kreativitas mereka.
“Bahkan dengan dorongan penggunaan PMM dan e-kinerja ini semakin membuat gap antara sekolah daerah dan perkotaan karena infranstruktur yang tidak mendukung,” tutupnya. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Wildan Nanda Rahmatullah