Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Emy Rosmawati SH MKn. (Romadhona S/PWMU.CO).
PWMU.CO – Lagi-lagi, perempuan tampaknya tidak memiliki rasa aman di Indonesia. Belakangan ini terdapat kasus seorang perempuan muda bernama Jessica Sollu yang ditemukan tewas di hutan Kawasan Jalan Trans Sulawesi, Luwu Timur, Sulawesi Selatan lantaran jadi korban kekerasan seksual.
Perempuan berusia 23 tahun itu adalah korban nafsu sopir travel yang tak hanya merudapaksa korban, tapi juga mencuri barang berharga hingga menghabisi nyawa dan membuang mayatnya di hutan.
Hal tersebut terjadi karena pakaian korban yang memperlihatkan bagian tubuh tertentu ketika ia tidur selama perjalanan, menjadi perhatian sopir.
Benarkah Indonesia Belum Ramah Perempuan?
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Emy Rosmawati SH MKn mengatakan bahwa saat ini memang perempuan di Indonesia belum aman ketika berada di ruang publik.
Alasannya adalah hingga kini, masih marak kejadian kekerasan seksual terhadap perempuan yang bahkan dilakukan di ruang publik. Kekerasan seksual pun tak hanya berupa fisik saja, tapi juga berbentuk pelecehan verbal.
Walaupun tindakan itu tidak segamblang pemerkosaan, tapi tetap saja hal itu termasuk dalam sikap pelecehan.
Menurut Dosen yang aktif di Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) kabupaten Sidoarjo selama 20 tahun itu, sampai sekarang perempuan masih menjadi sasaran empuk pelecehan seksual di Indonesia. Emy berpendapat bahwa perempuan masih dianggap lemah dan mudah ditekan seperti pengancaman.
“Tak hanya perempuan dewasa, saat ini anak perempuan yang masih kecil juga banyak yang menjadi korban kekerasan seksual. Begitu juga dengan perempuan penyandang disabilitas” tutur perempuan kelahiran kota kediri itu.
UU Perlindungan dari Kekerasan Seksual
Memang, tutur Emy, UU tentang perlindungan perempuan dan anak sudah cukup banyak dan lengkap, tapi masih ada banyak celah bagi orang yang berbuat buruk untuk memanfaatkan kelemahan korban.
“Sebenarnya undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, sudah diatur di beberapa undang-undang. Misalnya UU tentang HAM, UU PKDRT, dan UU penghapusan kekerasan seksual” ujar dosen yang juga seorang advokat sejak tahun 2000 tersebut.
Namun, mengapa walau dengan adanya berbagai UU tersebut, masih saja memakan korban perempuan dalam kasus pelecehan dan kekerasan seksual?
Emy mengatakan bahwa jika mengkaji dari isinya, UU tersebut memang bertujuan untuk melindungi perempuan. Tapi dalam prakteknya, UU berbenturan dengan acara pidana ketika pemeriksaan di kepolisian maupun di persidangan.
“Jadi UU ini saya pikir efektif hanya untuk langkah pencegahan saja. Jadi dibutuhkan tim khusus untuk melakukan sosialisasi tanggal tersebut. Misalnya adanya Tim Perlindungan Perundungan dan Kekerasan (TPPK)” ujar Emy.
UU tersebut dinilai belum efektif karena dari perspektif perlindungan perempuan dan anak. Sebab, UU ini memang berfungsi hanya untuk melindungi korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Saat acara pidana dilakukan, maka minimal harus ada dua alat bukti, yaitu saksi dan bukti.
Jika ada kekerasan seksual, maka hasil visum bisa menjadi bukti adanya kejadian tersebut. Namun berbeda dengan kejadian pelecehan seksual yang susah untuk dibuktikan.
“Misalkan ada pelecehan seksual berupa kontak fisik yang “tidak separah” pemerkosaan (misalnya meraba). Biasanya dilakukan di tempat yang sepi sehingga sulit untuk menemukan saksi” tutur Emy.
“Di kejadian itu juga sulit untuk menemukan bukti karena kejadian cepat sehingga tidak ada bekas bukti dan sulit menjerat pelaku” tambahnya.
Upaya Perlindungan Perempuan
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan marak terjadi baik di kota besar maupun di daerah terpencil. Namun sebab ketidakmerataan pendidikan membuat perempuan yang ada di daerah terpencil lebih rawan untuk mengalami hal tersebut.
“Jadi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika menjadi korban perbuatan tersebut. Karena ketika lapor pun sama dengan membuka aib diri sendiri” ucap perempuan yang sudah 11 tahun menjadi dosen tersebut.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus tanggap ketika ada laporan korban kekerasan dan pelecehan seksual. Tak kalah penting, mereka juga harus mengedukasi penduduk di wilayah terpencil tentang langkah-langkah yang harus dilakukan ketika mengalami kejadian itu.
Selain dari sisi penegak hukum, Emy juga berpesan kepada para perempuan untuk tetap berhati-hati ketika berpakaian yang bisa mengundang perhatian laki-laki, terlebih bisa menjerumuskan ke dalam tindak pidana.
“Boleh memakai baju yang terbuka, asalkan di tempat tertentu. Jangankan berpakaian terbuka, pakaian yang tertutup saja bisa menjadi korban pelecehan seksual jika ia sedang berada di tempat yang sepi” katanya.
Menurutnya, untuk menciptakan Indonesia yang ramah perempuan yaitu dengan memenuhi hak-hak perempuan dan politiknya.
Jadi jika ada perempuan yang sudah mampu berdikari atau banyak terlibat dalam kebijakan politik, maka mereka adalah perempuan kuat yang mampu mengurangi korban kekerasan dan pelecehan terhadap kaumnya.
Penulis Romadhona S, Editor Danar Trivasya Fikri