Oleh : Imam Yudhianto SSH SE SPd MM – Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Magetan dan Ketua Komisi Nasional Pendidikan Kabupaten Magetan.
PWMU.CO – Pendidikan adalah pilar peradaban, dan perguruan tinggi adalah laboratorium intelektual yang memproduksi generasi pembaharu.
Dalam konteks ini, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) memegang peranan strategis sebagai garda terdepan dalam mencetak insan kamil yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual. Namun, di tengah prestasi gemilangnya, kritik terhadap manajemen PTM mulai bermunculan, terutama mengenai isu biaya pendidikan yang tinggi dan sulit diakses oleh masyarakat kelas bawah. Ini adalah dilema moral yang memerlukan refleksi mendalam dan langkah konkret.
Saat itu, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah berangkat dari semangat pembaharuan dan keberpihakan pada rakyat kecil. Sejarah mencatat bahwa salah satu misi utama Muhammadiyah adalah membangun sistem pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memberdayakan seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.
Akan tetapi, seiring perjalanannya, sejumlah PTM kini terjebak dalam logika kapitalistik yang lebih mengutamakan stabilitas finansial daripada keberlanjutan misi sosial. Ironisnya, lembaga yang lahir dari semangat kerakyatan ini justru sering dianggap elitistik oleh sebagian masyarakat.
Islam mengajarkan prinsip keadilan sosial, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat” (QS. An-Nahl: 90).
Dalam konteks pendidikan, keadilan berarti memberikan akses yang setara bagi setiap individu, tanpa memandang status ekonomi. Pendidikan adalah hak, bukan barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu. Kritik terhadap PTM terkait biaya pendidikan yang mahal menjadi relevan ketika banyak siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu harus mengubur impiannya hanya karena ketidakmampuan membayar biaya kuliah.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir pernah menekankan pentingnya pendidikan berbasis nilai-nilai inklusivitas. Menurutnya, pendidikan Muhammadiyah tidak boleh terjebak dalam paradigma eksklusivisme yang menjauhkan Institusinya dari realitas sosial umat. Dalam bukunya berjudul “Islam Berkemajuan”, beliau mengingatkan bahwa perguruan tinggi Muhammadiyah harus menjadi solusi atas problem masyarakat, bukan malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Kita tentu tidak dapat menafikan tantangan besar yang dihadapi PTM dalam menjaga kualitas pendidikan. Kebutuhan akan fasilitas modern, pengembangan sumber daya manusia, dan tuntutan teknologi memerlukan investasi yang tidak kecil. Namun, apakah solusi terbaiknya adalah membebankan biaya tersebut secara penuh kepada mahasiswa? Muhammadiyah, sebagai organisasi filantropi yang berakar pada semangat kolektivitas, memiliki potensi besar untuk mengatasi tantangan ini melalui inovasi manajemen berbasis wakaf, zakat, dan infaq.
Dalam konteks ini, PTM perlu mengadopsi pendekatan strategis yang lebih visioner. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah membangun ekosistem pendidikan berbasis subsidi silang. Mahasiswa dari keluarga mampu dapat dikenakan biaya yang lebih tinggi, sementara mahasiswa tidak mampu mendapatkan keringanan atau bahkan beasiswa penuh. Model ini tidak hanya berlandaskan prinsip keadilan, tetapi juga memperkuat semangat gotong royong dalam pendidikan.
Selain itu, Muhammadiyah harus memanfaatkan teknologi untuk menciptakan model pendidikan yang lebih efisien dan terjangkau. Konsep hybrid learning misalnya, dapat menjadi alternatif untuk mengurangi biaya operasional tanpa mengorbankan kualitas. PTM juga perlu memperluas kemitraan dengan sektor swasta dan pemerintah untuk mendapatkan pendanaan tambahan. Dalam hal ini, Muhammadiyah dapat menjadi pelopor dalam mengembangkan model pendidikan berbasis kolaborasi.
Dampak dari pembenahan manajemen pendidikan ini akan sangat signifikan. Ketika PTM mampu membuka akses lebih luas bagi masyarakat kelas bawah, maka Muhammadiyah akan kembali pada khittah perjuangannya sebagai gerakan pencerahan.
Generasi muda dari berbagai latar belakang sosial akan memiliki peluang yang sama untuk berkembang, sehingga Muhammadiyah tidak hanya mencetak lulusan terbaik secara akademis, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa misi kemanusiaan.
Evaluasi terhadap PTM bukan berarti meruntuhkan, tetapi justru membangun. Kritik yang konstruktif adalah bentuk cinta yang tulus terhadap Muhammadiyah. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, kritik adalah salah satu bentuk muhasabah yang diperlukan untuk memperbaiki diri. Sebagaimana beliau berkata, “Janganlah engkau meremehkan kritik, karena di dalamnya terdapat hikmah yang besar.”
Harapannya, di masa depan PTM mampu menjadi model pendidikan yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga relevan secara sosial.
PTM harus menjadi tempat di mana semua anak bangsa, tanpa memandang status ekonomi, dapat bermimpi dan mewujudkan potensi terbaiknya. Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral untuk membuktikan bahwa pendidikan berbasis Islam dapat menjadi solusi atas problematika sosial yang kompleks. Ini adalah tantangan besar, tetapi juga peluang emas untuk mengukir sejarah baru dalam perjalanan panjang Muhammadiyah.
Maka, mari kita jadikan kritik ini sebagai momentum untuk berbenah. Pendidikan Muhammadiyah harus kembali menjadi lentera yang menerangi jalan umat, memberikan harapan bagi yang terpinggirkan, dan membangun generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan berjiwa sosial. Dengan langkah ini, Muhammadiyah tidak hanya melanjutkan misinya sebagai gerakan pembaharuan, tetapi juga mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. (*)
Editor Ni’matul Faizah