Search
Menu
Mode Gelap

Merasa Miskin, Merasa Kaya

Merasa Miskin, Merasa Kaya
pwmu.co -

Oleh Pradana Boy ZTF – Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang

PWMU.CO – Abu Qilabah, sahabat Nabi yang hidup sezaman dengan Anas bin Malik, dikenal sebagai seorang ahli ibadah, zuhud, dan berhati lapang. Di tengah segala kekurangan yang menimpanya, rasa syukur tak pernah hilang dari jiwanya.

Teladan akan rasa syukur Abu Qilabah ini dikisahkan oleh Abdullah bin Muhammad. Ia mengisahkan bahwa dalam salah satu perjalanannya, Abdullah bin Muhammad tiba di Negeri Arish wilayah perbatasan Mesir. Di wilayah itu dia mendapati sebuah kemah kecil nan renta yang bisa di duga bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat miskin.

Penasaran dengan penghuni kemah kecil dan renta itu, Abdullah lalu memasukinya. Betapa ia terperanjat. Di dalamnya, ia mendapati seseorang yang tidak biasa menghuni kemah itu. Penghuni kemah itu adalah seorang lelaki tua yang kondisi fisiknya sangat menyedihkan. Kedua tangan dan kakinya buntung, kedua telinganya tidak berfungsi baik, kedua matanya pun demikian adanya.

Namun, sebuah pemandangan menakjubkan terlihat. Meski memiliki aneka kelemahan fisik itu, lisan lelaki itu tidak pernah berhenti berdzikir, beristighfar, dan mengucapkan syukur kepada Allah.

Ketika Abdullah bin Muhammad masuk ke kemah, laki-laki tua itu sedang berbaring di atas alas seadanya. Ia pun mendekati lelaki renta itu. Demi mendengar lisannya yang tak pernah berhenti berdzikir dan bersyukur.

Abdullah lalu bertanya: “Saudaraku, dengan kondisimu yang seperti ini lisanmu terus-menerus mengucap syukur kepada Allah, sebenarnya nikmat Allah mana yang sedang engkau syukuri?”

Lelaki tua yang tak lain adalah Abu Qilabah itu lalu menjawab: “Wahai saudara, diamlah! Demi Allah, seandainya Allah mendatangkan laut, niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku. Jika Allah menghadirkan gunung, pastilah aku akan terbakar oleh api laharnya. Atau jika di jatuhkan langit kepadaku, niscaya aku akan remuk. Namun, aku tidak akan mengatakan apapun atas itu semua, kecuali rasa syukur.”

Abdullah bin Muhammad pun terperanjat mendengar jawaban itu. Ia kembali bertanya tentang apa yang sesungguhnya disyukuri oleh Abu Qilabah. Kembali Abu Qilabah memberikan jawaban, “Tidakkah engkau melihat Allah telah menganugerahkan aku lisan yang dengannya aku bisa selalu berdzikir dan bersyukur. Selain itu, aku juga memiliki seorang anak yang selalu menuntunku ke masjid saat waktu shalat tiba. Ia pula yang menyuapiku, jika aku lapar.

Namun, sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah aku meminta kebaikan hatimu mencarikan dia?”

Abdullah bin Muhammad lalu keluar untuk mencarinya. Setelah beberapa lama menyusuri wilayah itu, ia mendapati seseorang tergeletak di antara bebatuan. Ia mendekat dan menemukan pria itu tiada lagi bernyawa. Ia lalu kembali kepada Abu Qilabah dan mengabarkan berita duka itu kepadanya.

Abu Qilabah tak kuasa menahan rasa sedihnya. Lalu ia berkata, “Alhamdulillah, Allah tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada-Nya yang menyebabkan ia akan menerima azab di neraka.” Tak lama kemudian, Abu Qilabah menarik nafas panjang, dan kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.

Abu Qilabah mengajarkan tentang rasa syukur. Pelajaran ini semakin relevan untuk hadir dalam kehidupan masa kini, ketika salah satu tolok ukur keberhasilan adalah materi. Menjalani kehidupan di dunia memang memerlukan harta. Islam pun tidak melarang umatnya untuk memiliki harta. Akan tetapi terlalu fokus pada kekayaan sehingga melupakan tujuan hakiki kehidupan, merupakan hal yang tak seharusnya kita lakukan.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Dalam kaitan dengan kekayaan, Imam Abdul Malik al-Naisaburi mengatakan bahwa manusia terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Adapun pada hakikatnya orang-orang kaya yaitu mereka mengikuti keridhaan Allah. Sedangkan Yahya bin Mua’dz menyebut orang miskin tak lain adalah mereka yang takut menjadi miskin.

Pada umumnya manusia yang takut miskin adalah orang yang tidak yakin bahwa Allah Maha Pemberi Kekayaan. Secara logika, orang yang telah miskin tak akan takut kepada kemiskinan, karena kemiskinan telah menjadi bagian dari hidupnya.

Sebaliknya, mereka yang takut miskin pastilah orang-orang yang berlimpah harta dan menjadikan hartanya sebagai tumpuan hidup, sehingga membayangkan hidup minim harta pun mereka tak sanggup. Mereka inilah orang-orang miskin hakiki. Bergelimang harta tetapi miskin jiwa. Sementara orang-orang yang serba kekurangan, tetapi kaya jiwa dan selalu menjadikan Tuhan sebagai tumpuan adalah orang-orang kaya yang sesungguhnya.

Di tengah situasi menyambut Ramadhan yang sering dikaitkan dengan bulan pelatihan ruhaniah untuk pengendalian diri, justru sebuah berita yang melambangkan keserakahan manusia terdengar. Demi meraih untung, tindakan-tindakan kecurangan dilakukan dalam perdagangan. Di dalam sebuah perusahaan negara yang mengelola kebutuhan dan hajat hidup masyarakat, kecurangan yang menyesakkan dada mencuat.

Jika benar kecurangan itu dilakukan, sesungguhnya pelaku-pelaku kekurangan itulah orang yang secara hakiki miskin. Mereka kaya harta tapi merasa miskin. Maka perasaan sebagai miskin itu lalu terwujud dalam hasrat tiada batas menumpuk harta tanpa peduli melalui jalan apapun jua.

Ketamakan itu lahir dari jiwa dan hati yang tak pernah cukup. Sementara jika membandingkan dengan teladan Abu Qilabah, ia seorang yang miskin, tak sempurna pula secara fisik; namun karena ia kaya hati dan jiwa dan karenanya secara materi merasa tak kekurangan apa-apa, hanya kesyukuran yang menyelimuti hatinya.

Harta adalah fatamorgana. Al-Qur’an pun telah jauh-jauh hari menyindir para penumpuk harta yang telah buta. Surah al-Takatsur menyebutkan: “Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu; sampai kamu masuk ke dalam kubur.” Maka cinta harta yang berlebihan, atau perasaan selalu merasa miskin, tak akan pernah ada batasnya. Manusia tamak akan terus melakukannya. Hanya satu yang akan menghentikan mereka, yaitu kematian.

Ramadhan mengajarkan kepada kita pentingnya mengalami kemiskinan sehingga kita akan merasa kaya, dan dengan merasa kaya, maka kita akan merasa cukup dan lalu membawa kepada kesyukuran. Ramadhan ini pula menjadi saat yang tepat untuk berdoa agar kita semua terhindar dari situasi jiwa “merasa miskin”, yang hanya akan membawa kepada kufur, ingkar, dan rasa tak pernah cukup. (*)

Editor Notonegoro

Iklan Landscape Mim6tebluru

0 Tanggapan

Empty Comments