Menulis Opini, Tirulah Gaya Alquran

Anwar Hudijono saat menyampaikan materi. (Mohammad Nurfatoni/PWMU.CO)

PWMU.CO – Menulis opini yang baik, tirulah gaya Alquran. Bahasanya menyentak sehingga menarik perhatian.

Demikian yang diutarakan Anwar Hudijono, dalam Pelatihan Menulis Indepth Reporting dan Opini yang diselenggarakan Lembaga Informasi dan Komunikasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ahad (29/9/19).

“Menariknya gaya bahasa Alquran itu karena menyentak,” ujarnya sembari memberi contoh ayat-ayat Alquran seperti Nun, Alif-Lam-Mim, Qaf, dan sebagainya.

Anwar menyatakan, ayat-ayat Alquran yang dicontohkan tadi menyentak kesadaran dan membuat orang bertanya-tanya. “Apa itu Alif-Lam-Mim? Ternyata baru jawabannya ‘Dzalikal kitabu la raibafihi’,” ungkapnya mengutip surat Albaqarah ayah 1-2.

Bahasa Alquran, tambah Anwar, terdiri dari banyak unsur sastra, di antaranya prosa dan puisi. “Dari tata bahasa membuat orang tidak bosan untuk membacanya,” ujarnya.

Selain menyentak seperti gaya Alquran, menulis opini, lanjut dia, harus anti-mainstream alias tidak sama dengan kebanyakan.

“Menulis opini tidak sama dengan makalah. Tulislah sesuatu yang menarik itu pada lead (kepala tulisan) sebagai pancingan agar memantik minat pembaca. Jangan bertele-tele” tutur Anwar. Fungsi lead salah satunya agar pembaca tersentak dan tertarik untuk membaca sampai akhir, tidak monoton.

Susasana pelatihan. (Mohammad Nurfatoni/PWMU.CO)

Mantan Pemimpin Redaksi Harian Surya itu mengatakan, penulis opini bukan hanya kolektor data, namun harus punya misi dan tujuan dalam tulisannya. Misi yang diusung penulis dalam opini menentukan pergerakan arah tulisan. “Penulis yang mencanangkan misi, tidak terombang-ambing tanpa tujuan,” tambah Anwar.

Dia juga berpesan, agar penulis opini tidak malu bertanya pada orang lain. “Bertanya pada orang tujuannya untuk memperkuat tulisan kita. Menambah data-data dalam opini kita,” tambahnya.

Setiap penulis, ujar Anwar, punya gaya sendiri-sendiri dalam tulisan. “Jadilah diri sendiri dalam gaya menulis. Membaca gaya penulis bukan untuk meniru gayanya,” ingatnya.

Mantan redaktur opini Harian Kompas itu juga menyampaikan, menulis opini seperti naik motor dan mobil. “Jika semakin jauh dan sulit maka semakin bisa. Semakin banyak belajar menulis maka semakin bisa,” jelasnya. (*)

Kontributor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version