Kalau Diperas-peras ya Bukan Pancasila Lagi

Ma’mun Murod Al-Barbasy penulis Kalau Diperas-peras ya Bukan Pancasila Lagi. (Istimewa/PWMU.CO)

PWMU.COKalau Diperas-peras ya Bukan Pancasila Lagi, puisi politik ini ditulis oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Umat dipaksa untuk tidak mengungkit-ungkit kembali soal Piagam Jakarta.

Kelompok yang berusaha mengusulkan kembalinya Piagam Jakarta dibonsai habis.

Dituduh radikal, intoleran, anti-Pancasila.

Beragam penelitian dengan nilai puluhan bahkan ratusan miliar rupiah disediakan untuk memperkuat “seolah-olah” umat Islam emoh dengan Pancasila, pro Piagam Jakarta dan syariat Islam.

Hasilnya, mainstream umat pro-Pancasila sebagai ideologi negara, meski ada keinginan besar untuk terapkan syariat Islam dengan tetap dalam bingkai NKRI.

Yang sesungguhnya anti-Pancasila itu yang paling demen teriak-teriak soal Pancasila.

Yang sesungguhnya anti-Pancasila itu adalah mereka yang sebatas menjadikan Pancasila sebagai jargon dan slogan.

Yang anti-Pancasila itu ternyata mereka yang suka dengan mudah menuduh kelompok lain sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, intoleran, anti-nhinneka.

Yang anti-Pancasila ternyata yang masih mendambakan dan mengagungkan gagasan usang yang semestinya harus dikuburkan seiring dengan ditetapkannya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang kemudian “diamandemen” pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dan inilah Pancasila kita. Pancasila yang sejati. Pancasila yang sesungguhnya. Pancasila yang otentik.

Bukan Pancasila yang lainnya. Bukan Pancasila yang diperas-peras. Pancasila yang diperas-peras itu namanya tentu saja bukan Pancasila.

Pancasila itu artinya lima sila, kalau diperas-peras tentu namanya bukan Pancasila.

Adakah gemuruh tuduhan terhadap kelompok peras memeras dan pendukunya ini sebagai anti-Pancasila seperti gemuruhnya tuduhan yang sama yang dialamatkan terhadap jutaan kerumunan massa beberapa tahun silam?

Jawabnya tak ada.

Tak ada, karena teriakan anti-Pancasila sejatinya hanya pekikan suara palsu, pekikan suara penuh kemunafikan, dengan maksud untuk menutupi perilaku dan tindak tanduk mereka yang sejatinya anti-Pancasila. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version