Quran Itu Kitab Politik, Ini Buktinya

Quran
Prof Dr Ma’mun Murod, kiri, bersama moderator Nurbani Yusuf di Pengajian Ahad Kota Batu. (Khoen/PWMU.CO)

PWMU.CO – Quran itu kitab politik. Sebagian besar berbicara tentang politik. Misalnya keadilan, musyawarah, menjaga amanah, tanggung jawab, dan kepemimpinan.

Demikian disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof Dr Ma’mun Murod MSi dalam Pengajian Ahad Pagi di Masjid Taqwa Kota Batu, Ahad (22/10/2023).

“Mengapa agama Islam tak bisa lepas dari politik? Jawabnya karena Quran itu isinya politik, kitab politik,” tandasnya.

 Dia menuturkan, isi Quran sebagian besar berbicara tentang politik. Misalnya keadilan, musyawarah, menjaga amanah, tanggung jawab, dan kepemimpinan.

Sedikit sekali pembicaraan tentang hal-hal di luar politik. Misalnya tentang shalat dan thaharah, sangat minim dibahas dalam al-Quran.

”Coba kita baca sirah nabi, terutama sirah Nabi Muhammad saw. Sirah Nabi Muhammad saw adalah sirah politik. Perjalanan hidup Nabi Muhammad adalah politik. Mulai kelahirannya, pekerjaan, pernikahannya, semuanya adalah politik,” kata Ma’mun.

 Hijrah Nabi, sambung dia, adalah politik. Perjanjian dan pertempuran Nabi adalah politik. ”Maka aneh jika umat Islam tidak boleh berpolitik,” lanjutnya.

 ”Kalau umat Islam tidak boleh bicara politik, maka mintalah Tuhan untuk mengubah Quran. Sebab, al-Quran itu buatan Tuhan, Allah yang membuatnya. Protesnya jangan ke umat Islam,” ujarnya.

Dia menegaskan, pengetahuan tentang politik harus dimiliki oleh warga Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah.

Dia menilai selama ini sikap warga Muhammadiyah terhadap politik terkesan dingin. Padahal politik itu adalah sesuatu yang sangat penting.

Kehidupan manusia tak bisa lepas dari politik. Apapun terkait dengan politik. Bahkan, agama pun tak bisa lepas dari politik. Rasulullah mengemban peran sebagai agamawan dan negarawan.

Dia menegaskan, politik itu penting maka Rasulullah saw dan semua sahabat terlibat dalam politik. Maka, bila ada yang berpendapat bahwa agama adalah agama dan politik adalah politik, agama tak boleh bicara soal politik, lebih ekstrem lagi umat Islam tidak boleh berpolitik, itu harus diluruskan.

Ma’mun Murod menjelaskan, manusia sesungguhnya adalah makhluk politik. Bahkan anak kecil pun sudah berpolitik. Contohkan, pembulian bisa dilakukan oleh anak TK sekalipun. Anak dengan usia lebih tua memerintah yang lebih kecil. Memaksa menuruti kemauan anak yang lebih besar, maka itulah relasi kekuasaan.

Adanya kakak kelas yang mem-bully adik kelas, hal itu terjadi karena ada hubungan senior-junior, ada relasi kekuasaan di antara keduanya.

Khalifah di Bumi

Dalam surat al-Baqarah ayat 30, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Namun, malaikat mempertanyakan kenapa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah. Rencana Allah ini ditentang oleh malaikat, karena manusia sering membuat kerusakan di muka bumi, sedangkan malaikat memuji dan bertasbih kepada Allah sepanjang masa.

Namun, apa yang dikatakan malaikat kepada Allah tentang ketidaksetujuan bahwa manusia akan dijadikan khalifah dimuka bumi ini dijawab oleh Allah bahwa manusia mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk yang lain termasuk dengan malaikat.

”Manusia dipilih oleh Allah untuk menjadi pemimpin, khalifah di bumi. Itu karena manusia memiliki sifat yang kompleks, bisa berlaku seperti iblis, bisa seperti malaikat,” kata Murod.

”Kaitannya dengan politik, bila manusia yang berpolitik itu orang baik, maka politik yang dilakukannya juga politik yang baik, yang mendekati malaikat. Sebaliknya bila manusia yang berpolitik itu orang yang tidak baik, maka politik yang dilakukannya juga politik yang buruk, yang mendekati iblis.”

Dia menyampaikan, politik harus dilihat pada konteks manusia. Itu yang harusnya dilakukan. Jangan melihat politik dengan hitam-putih karena tidak ada manusia yang sepenuhnya baik dan tidak ada yang sepenuhnya buruk. Manusia selalu berubah dan kapanpun bisa berubah.

Politik Berkeadaban

Dia mengatakan, politik bagi umat Islam adalah ibadah muamalah. Muamalah adalah hubungan sosial kemanusiaan. Karena itu, seharusnya politik itu dilakukan dengan berkeadaban dan manusiawi.

Pembungkaman hak berbicara rakyat oleh penguasa adalah contoh politik yang tidak beradab. Keresahan yang diciptakan oleh penguasa akibat adanya kebijakan-kebijakan yang membingungkan juga adalah contoh politik yang tidak beradab.

Dia menilai sepuluh tahun ini adalah periode terburuk dalam periode kepemimpinan di Indonesia. Wajah kepemimpinan di era ini tidak jelas. Rezim ini adalah paling sulit. Sekarang semua dibuat diam. Bahkan, kampus pun diam. Tak ada yang berani bicara.

”Kalau kita diberi pemimpin yang buruk itu bukan dari Allah karena yang baik dari Allah, yang buruk dari manusia. Artinya, pemimpin yang buruk adalah kesalahan generasi yang memilih pemimpin itu,” tegasnya.

Oleh sebab itu, dia mengajak warga Muhammadiyah agar bijak dalam menentukan pilihan di Pilpres mendatang. Golput berarti tidak bertanggung jawab.

”Bila kita ingin menyelamatkan negara dan bangsa ini, mari kita pahami politik dengan baik dan terlibat di dalamnya dengan niat jihad fi sabilillah. Maka, bila ada warga Muhammadiyah ada di partai apapun harus didukung agar menjadi wakil kita di jalur legislatif, eksekutif, kalau bisa di semua jalur. Demi menyelamatkan Indonesia, kita perlu bergotong-royong menggalang dana untuk jihad politik,” pungkas Prof. Murod.

Penulis Khoen Eka Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version