Puasa Ditinjau dari Teori Sigmund Freud

Puasa
Dr Syamsuddin mengisi Kajian Ahad Pagi di Masjid at-Taqwa Kota Batu. (Khoen/PWMU.CO)

PWMU.CO – Puasa ditinjau dari teori Sigmund Freud dikupas dalam Pengajian Ahad Pagi di Masjid at-Taqwa PDM Kota Batu, Ahad (10/3/2024).

Pembicara Wakil Ketua PWM Jawa Timur Dr Syamsuddin MAg yang juga dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Dr Syamsuddin menjelaskan, perintah puasa diawali dengan kalimat Ya ayuhaladina amanu. Artinya Allah memanggil semua orang yang beriman, baik yang imannya sedikit, sedang, atau yang imannya tinggi.

Panggilan itu, menurut dia, merupakan kasih sayang Allah yang mengandung perintah dan larangan langsung dari Allah.

“Islam adalah agama yang memiliki kekuatan tauhid radikal. Artinya, Allah satu-satunya rabb dan itu tidak bisa ditawar. Namun Islam adalah agama yang paling humanis karena Islam menghargai manusia dan kemanusiaan. Terbukti ibadah puasa, Islam membolehkan berbuka, tidak puasa seharian penuh,” jelas Ustadz Syamsuddin.

Lantas dia menjelaskan ibadah puasa banyak diteliti oleh ilmuwan dari aspek kesehatan jasmani maupun kesehatan ruhani pada orang yang berpuasa.

Salah satu hasil penelitian itu, sambung dia, menyebutkan,  materi pembicaraan orang yang berpuasa beberapa hari, ternyata mengalami perubahan.

”Pembicaraan biasanya bersifat material beralih menjadi abstrak dan filosofis, misalnya toleransi, kepedulian sosial, dan hak asasi manusia,” tuturnya.

Kemudian Syamsuddin mengutip teori Sigmund Freud, ilmuwan psikologi. Freud mengatakan orang modern pada umumnya mengalami sakit jiwa.

”Sakit jiwa yang dimaksud adalah fiksasi (keterhambatan) kepribadian. Misalnya orang yang sudah tua tapi sumber kebahagiaannya adalah makanan. Maka sesungguhnya orang tersebut masih ada di fase anak-anak (oral), yaitu suka memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya,” ujarnya.

Sumber kebahagiaan material yang lain adalah seks (fase genital) dan fase anal (mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya), misalnya harta.

“Untuk mengatasi fiksasi kepribadian, maka manusia perlu didewasakan aspek spiritualnya, yaitu melalui puasa,” kata Ustadz Syamsuddin.

“Puasa merupakan jalan menuju proses pendewasaan spiritual. Ketika puasa kita dilatih untuk lebih bersabar. Misalnya, sabar dalam menunggu waktu berbuka, sabar dalam mengendalikan amarah,” lanjutnya.

Dengan puasa kita dilatih oleh Allah untuk menjadi hamba yang mengagungkan Allah dan mengecilkan manusia. Membesarkan hukum Allah, mengecilkan hukum manusia, itulah yang membuat kita bersyukur kepada Allah.

”Syukur artinya menggunakan nikmat Allah pada jalan ketaatan kepadaNya dan menghindarkan diri dari kesesatan kepada-Nya,” katanya.

Masa muda adalah kenikmatan, kesehatan adalah kenikmatan, waktu adalah kenikmatan, semua itu, tandas Syamsuddin, akan ditanya oleh Allah untuk apa digunakan.

”Oleh sebab itu, melaksanakan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya adalah wujud syukur kita dalam menggunakan kesehatan yang diberikan oleh Allah yang hikmahnya tidak hanya untuk kesehatan fisik tapi juga kesehatan ruhani,” tuturnya.

Penulis Khoen Eka   Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version