SDMM Sosialisasi Konvensi Hak Anak

SDMM sosialisasi Konvensi Hak Anak (KHA), secara daring melalui Zoom Cloud Meetings, Sabtu (8/8/20). Kegiatan diikuti guru dan orangtua siswa Sekolah Dasar Muhammadyah Manyar (SDMM) Jalan Amuntai No 1 GKB Gresik.
Elvi Hendrani menyampaikan materi. SDMM Sosialisasi Konvensi Hak Anak. (Muhammad Fais Alfafa/PWMU.CO)

PWMU.CO – SDMM sosialisasi Konvensi Hak Anak (KHA) secara daring melalui Zoom Cloud Meetings, Sabtu (8/8/20). Kegiatan diikuti guru dan orangtua siswa Sekolah Dasar Muhammadyah Manyar (SDMM) Jalan Amuntai No 1 GKB Gresik.

Kegiatan tersebut menghadirkan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Elvi Hendrani.

Ia menjelaskan, Sekolah Ramah Anak (SRA) merupakan suatu bentuk aktivitas seluruh warga sekolah termasuk orangtua agar bergerak bersama-sama untuk melindungi dan memenuhi hak selama mereka berada di lembaga pendidikan.

Ramah Anak Masa Pandemi

Pertanyaannya, bagaimana untuk saat ini, di mana merupakan masa darurat untuk semua negara, sehingga proses pendidikan, ibadah, dan bekerja, lebih banyak diutamakan berada di rumah?

Elvi Hendrani mengatakan, kata sekolah yang selama ini diartikan sebagai satuan pendidikan, karena saat ini proses pendidikan berada di rumah, maka harus tetap ramah anak, hanya tempatnya di rumah.

“Sehingga kolaborasi antara orangtua, anak, dan satuan pendidikan sangat penting. Karena di mana pun proses pendidikan yang dilakukan, maka kolaborssi itu harus selalu terwujud,” tegasnya.

Menurutnya, tidak mungkin terwujud cita-cita dari sekolah ramah anak, untuk membuat anaknya senang, gurunya tenang, orangtua bahagia, jika kolaborasi tiga pihak ini tidak terjadi.

Karenanya, dalam kesempatan tersebut Elvi Hendrani mengenalkan Konvensi Hak Anak yang merupakan suatu pedoman yang dipakai oleh Indonesia dan semua negara PBB kecuali Amerika, karena tidak ikut merativikasi.

“Kita merativikasi konvensi hak anak pada 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36, tetapi ada 2 pasal yaitu pasal yang ada di kluster pendidikan, pasal 28 dan pasal 29 tidak diakui dan diabaikan untuk dilaksanakan pada waktu Keppres tersebut turun,” paparnya.

Pasal tersebut, lanjut Elvi Hendrani, baru diakui dan dilaksanakan pada 2005 sehingga pasal 28 dan 29 ini belum masuk dalam UU Sisdiknas yang lahir pada 2003. “Ini salah satu kendala muncul sekolah ramah anak, karena belum terakomodirnya tujuan pendidikan, proses pendidikan seperti yang diamanatkan dalam konvensi hak anak,” ungkapnya.

Prinsip Konvensi dan Pemenuhan Hak Anak

Ada empat prinsip dalam Konvensi Hak Anak. Pertama, non diskriminasi. Melihat semua anak adalah sama dan harus ditolong.

Kedua, kepentingan pribadi bagi anak menjadi prinsip dasar penting dan diutamakan saat kita membuat program, keputusan, kegiatan, yang akan berdampak pada anak. Semuanya didedikasikan agar anak bertambah baik.

“Apakah setelah program atau keputusan ini dilaksanakan, ditetapkan, anak bertambah baik? Jawab dengan hati. Saat kita tidak jujur menjawabnya, kebanyakan keputusan ini terkait dengan kepentingan sekolah, misalnya,” tutur Elvi Hendrani.

Ia mencontohkan, apakah mengembalikan anak kepada orangtua adalah keputusan yang terbaik bagi anak, karena sekolah sudah tidak bisa membinanya. Menurutnya, anak yang dikembalikan kepada orangtua tidak pernah menjadi lebih baik. Tidak pernah membuat anak lebih termotivasi untuk bersekolah.

“Hasilnya anak menjadi murung, frustasi, trauma bertemu dengan teman, guru, dan lain-lain. Maka keputusan ini melanggar prinsip kedua dari konvensi hak anak,” tegas Elvi Hendrani.

SDMM Sosialisasi Konvensi Hak Anak. Tangkapan layar Zoom saat pemaparan materi Konvensi Hak Anak. (Ria Pusvita Sari/PWMU.CO)

Kesehatan Anak Nomor Satu

Prinsip ketiga, hidup, tumbuh, dan berkembang. Maka jika nanti sekolah membuka anak untuk masuk, Elvi Hendrani meminta semua pihak memastikan tidak ada kluster baru Covid-19.

“Karena sehat itu penting bagi anak. Tanpa sehat anak tidak bisa jadi cerdas. Tanpa sehat anak tidak bisa jadi ceria. Tanpa sehat tidak akan dapat kembali ke sekolah,” ujarnya.

Keempat, penghargaan terhadap pendapat anak. Anak didengar, diakui sebagai manusia seutuhnya, bukan sebagai dewasa kecil, tetapi manusia sesuai dengan perkembangannya.

Elvi Hendrani mengingatkan, anak SMP tentu berbeda cara mereka mengeluarkan pendapat dengan anak SD. Maka, lanjutnya, bagaimana kita menghargai pendapat anak berdasarkan periode-periode tumbuh kembangnya itu yang sangat diperlukan di sekolah ramah anak.

Setelah Indonesia merativikasi konvensi hak anak, kata Elvi Hendrani, maka selanjutnya mempunyai tugas dalam pemenuhan hak anak. Pertama, menyosialisasikan konvensi hak anak ke semua masyarakat, sampai kepada anak. “Karena yang bertugas melindungi anak yaitu mulai dari anak itu sendiri, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan dunia,” ujarnya.

Kedua, semua kebijakan terkait dengan anak harus dibuat aturan hukumnya. Ketiga, dibuat laporan periodik mengenai implementasinya (lima tahun).

Definisi Anak

Elvi Hendrani juga menjelaskan beberapa poin penting dalam Konvensi Hak Anak yang perlu diketahui bersama. Pertama, anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan UU yang berlaku, bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

Ia mengatakan, Indonesia mengambil kalimat pertama ini, tetapi tidak mengambil kalimat kedua dan menambahkan kalimat kedua di UU perlindungan anak. “Jadi bunyi definisi anak yang diambil dalam UU perlindungan anak di Indonesia adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun termasuk anak dalam kandungan,” jelasnya.

Kedua, pasal 28 yaitu semua anak usia sekolah harus mendapatkan pendidikan secara gratis oleh negara. “Sebenarnya pendidikan dasar 12 tahun, mulai SD, SMP, dan SMA, tetapi Indonesia baru bisa 9 tahun,” ujarnya.

Poin penting lainnya, kata dia, ada dalam pasal 37 dan pasal 40.3, yaitu tidak boleh ada hukuman mati dan harus ditetapkan batas usia minimum anak yang dianggap memiliki pelanggaran hukum. Dua pasal ini, lanjut Elvi Hendrani, diadopsi dalam UU sistem peradilan anak yaitu pertama, anak yang bisa masuk ke dalam pidana hanya anak yang berusia di atas 12 tahun.

Kedua, dengan tuntutan pidana di atas tujuh tahun, baru boleh diproses secara hukum pidana, itu pun dengan tata cara dikawal oleh UU Sistem Peradilan Pidana Anak. “Hal lainnya adalah betapa pun beratnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, tidak boleh ada keputusan hukuman mati atau seumur hidup untuk anak,” tambahnya.

Anak adalah Korban

Menurutnya, anak tetap harus mendapatkan haknya untuk hidup. Mereka harus mendapatkan masa depan yang cemerlang. Semua anak harus terselamatkan.

“Semua anak yang melakukan kejahatan sesungguhnya mereka adalah korban. Korban dari perlakuan salah orangtuanya, masyarakat, pemerintah dalam keputusan-keputusannya, dan informasi yang tidak ada batasan yang dapat diakses oleh anak,” jelasnya.

Demikian pula di sekolah ramah anak. Elvi Hendrani menjelaskan, coba lihat latar belakang anak yang melakukan kenakalan atau tindakan yang kurang terpuji. “Coba teliti mengapa mereka melakukan itu. Pasti semuanya ada kontribusi dari orang dewasa sehingga anak melakukan itu,” tuturnya.

Ia melanjutkan, di pasal 32 dikatakan negara menentukan batasan usia minimum boleh bekerja. Terkait hal ini, kata dia, Indonesia sudah merativikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) tentang pekerja anak.

“Anak yang dalam kondisi harus bekerja, maka harus dipastikan bahwa anak tersebut tetap memperoleh hak pendidikannya, kesehatannya,” jelasnya.

Sehingga persyaratan anak yang bekerja, kata Elvi Hendrani, adalah pertama, berusia minimal 15 tahun. Kedua, lingkungan pekerjaannya tidak membahayakan hidup anak. Ketiga, jenis pekerjaannya tidak boleh membahayakan anak dan jam bekerjanya maksimal 4 jam.

Selanjutnya, Elvi Hendrani menjelaskan pasal 38 yaitu tidak boleh ada rekruitmen anak untuk perang atau terlibat dalam hal-hal yang membahayakan hidupnya, termasuk ke dalam ranah politik. (*)

Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version