Kesaktian Pancasila dan Saham Ormas-Ormas Islam

Kesaktian Pancasila dan Saham Ormas-Ormas Islam. Monumen Pancasila Sakti.

Kesaktian Pancasila dan Saham Ormas-Ormas Islam, kolom oleh Prima Mari Kristanto, akuntan; warga Muhammadiyah tinggal di Lamongan.

PWMU.CO – Tanggal 1 Oktober diperingati bangsa Indonesia sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Rangkaian peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang populer dengan G30S/PKI.

Persyarikatan Muhammadiyah memberikan “cinderamata” tanggal 1 Oktober 1965 dengan lahirnya Kokam—Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah. Qadarulllah, Kokam menjadi ujung tombak keikutsertaan aktif Persyarikatan Muhammadiyah dalam membantu TNI menumpas G30S/PKI dan menjaga Pancasila.

Selain Persyarikatan Muhammadiyah, ormas-ormas Islam lainnya kompak bersatu padu serta paling diandalkan pemerintah dan TNI membantu menumpas G30S/PKI.

Ormas-ormas Islam menjadi kekuatan andalan disebabkan unsur-unsur lain ditengarai tidak steril dari pengaruh PKI, termasuk di dalam unsur pemerintah dan TNI sendiri.

Ormas-ormas Islam bersama ABRI (Angkatan Bersenata Republik Indonesia) serta unsur masyarakat lain seperti KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAP-Gestapu, Sekber Golkar dan lain-lain layak disebut sebagai pemegang saham terbesar dalam mewujudkan tatanan baru—Orde Baru—yang terkenal dengan jargon “Mengamalkan Pancasila secara Murni dan Konsekuen”.

Peristiwa demi peristiwa sejak 1 Oktober 1965 mewarnai situasi dan kondisi masyarakat antara lain terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Sidang Istimewa MPRS hingga pidato Nawaksara pertanggungjawaban Presiden Soekarno tahun 1967 di hadapan Sidang Istimewa MPRS.

Dalam tubuh Muhammadiyah sendiri banyak terjadi peristiwa unik di tengah situasi politik yang mencekam. Mulai dari terpilihnya KH Faqih Usman sebagai Ketua (Umum) PP Muhammadiyah menggantikan KH Ahmad Badawi, hingga penunjukan KH AR Fahruddin sebagai pejabat ketua umum ketika KH Faqih Usman meninggal dunia saat baru beberapa bulan menjabat sebagai ketua umum.

Keluwesan kepemimpinan Pak AR yang profesional menjadikan Muhammadiyah mendapat tempat di hati pemerintah dan masyarakat. Kedekatan Muhammadiyah dengan pemerintah memberi banyak jalan lapang dalam pengembangan amal-amal usaha dan keterwakilan warga Muhammadiyah dalam eksekutif maupun legislatif.

Tidak ketinggalan pula ormas-ormas Islam lainnya juga diperhatikan dalam pengembangan sarana prasarana pendidikan, masjid, pesantren serta keterwakilan keluarga pesantren di DPR, MPR dan pemerintahan Orde Baru.

Pemulihan Ekonomi Pasca G30S/PKI

Qadarullah kekacauan ekonomi efek G30S/PKI cepat berlalu ditandai booming harga minyak pada tahun 1969 yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Booming minyak mendorong perekonomian negara dan masyarakat semakin maju didukung oleh orientasi pemerintah pada program-program pembangunan lima tahunan yang baik dan terencana.

Periode tahun 1970-an, 1980-an hingga awal 1990-an dikenang sebagai periode pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler hingga Indonesia dijuluki sebagai salah satu Macan Asia.

Memasuki tahun 1991 hingga 1995, ekonomi Indonesia yang bertumpu pada konglomerasi swasta dan utang luar negeri menimbulkan masalah defisit APBN dan defisit transaksi berjalan yang lebar. Krisis perbankan ditandai dengan banyaknya kredit macet menambah kekhawatiran masa depan ekonomi Indonesia.

Sampai dengan tahun 1996 dan 1997 ekonomi masih baik-baik saja meskipun sejumlah indikator menunjukkan angka yang menghkawatirkan disuarakan para pengamat dan analis ekonomi makro.

Struktur ekonomi swasta yang dominan menyumbang PDB tetapi bertumpu pada utang luar negeri dalam jumlah besar tidak kuat menghadapi situasi perubahan kurs rupiah terhadap US Dollar yang berubah drastis.

Kepanikan pada sektor moneter berimbas pada sektor riil dan sektor perbankan ditandai dengan rush (penarikan simpanan dalam jumlah besar dalam waktu yang bersamaan).

Kriris 1998 dan Saham Ormas Islam

Memasuki tahun 1998 kurs rupiah terhadap US Dollar yang tidak terkendali memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Pengunduran diri Presidien Soeharto pada 21 Mei 1998 melengkapi derita krisis moneter, menjadi krisis ekonomi, politik bahkan krisis multidimensi.

Jika diamati lebih teliti, pergantian Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sesungguhnya dominan disebabkan masalah ekonomi. Ketidakberdayaan mengendalikan situasi ekonomi berujung pada tidak terkendalinya situasi politik. Kerapuhan ekonomi demokrasi terpimpin disebabkan demokrasi yang tidak sehat, demikian juga masa Orde Baru.

Ekonomi terpimpin yang ditandai terlalu dominannya peran negara dan ekonomi Orde Baru yang gagal mengendalikan sektor swasta liberal memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk kaum milenial.

Orde Baru yang dilahirkan dengan semangat Kesaktian Pancasila belum maksimal menempatkan Pancasila sebagai panglima dalam tata kelola ekonomi nasional.

Ormas-ormas Islam sebagai salah satu pemegang saham terbesar Orde Baru belum banyak dilibatkan dalam kebijakan dan pengelolaan roda ekonomi nasional. Konsesi-konsesi tambang, hak pengusahaan hutan (HPH), perusahaan rekanan BUMN dan rekanan pemerintah banyak diberikan pada swasta yang memiliki kedekatan dengan penguasa.

Keberadaan elemen ormas Islam dalam ikut mengendalikan roda ekonomi nasional hanya sedikit terwakili dari unsur HMI/KAHMI seperti Jusuf Kalla, Fahmi Idris, Abu Rizal Bakrie dan kawan-kawan. Tetapi keberadaan Jusuf Kalla dan kawan-kawan dari unsur HMI/KAHMI yang masih saja minoritas dibandingkan konglomerasi kelompok Salim, Sinar Mas, Barito Pacific dan lain-lain.

Umat Islam dan Peran Ekonomi

Ormas-ormas Islam sebagai salah satu pemegang saham terbesar revolusi kemerdekaan 1945, Kesaktian Pancasila 1966, dan Reformasi 1998 sudah waktunya mengambil peran dalam tata kelola ekonomi nasional. Saham besar ormas-ormas Islam yang selama ini dikonversi pada jabatan-jabatan politik, saatnya juga dikonversi dalam konsesi-konsesi tambang, laut, hak pengusahaan hutan (HPH), perusahaan rekanan BUMN, rekanan pemerintah dan lain-lain secara profesional.

Hadirnya ormas-ormas Islam dalam percaturan ekonomi Islam bukan semata-mata untuk memperkaya organisasi atau memperkaya pribadi-pribadi aktivis ormas-ormas Islam. Tujuan lebih strategis adalah mewujudkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang masih terasa jauh panggang dari api.

Tumbuh dan berkembangnya koperasi, UKM, dan korporasi dikalangan anggota-anggota ormas Islam dipastikan mampu memperkuat struktur ekonomi nasional. Ormas-ormas Islam beserta anggotanya sudah waktunya merubah pola pikir dari orientasi jabatan politik nasional menuju orientasi penguasaan ekonomi nasional.

Pos-pos ekonomi, keuangan dan industri sesungguhnya bukan pos asing bagi kader-kader ormas Islam pada masa awal berdirinya NKRI. Kader Masyumi Sjafruddin Prawiranegara pernah memegang amanah sebagai Gubernur Bank Sentral.

Kader Muhammadiyah Ir Juanda selain sebagai Perdana Menteri, pada posisi teknis pernah memegang posisi Menteri Pertahanan juga Menteri Keuangan.

Pada intinya kader-kader ormas Islam pantas dan layak diberi peran dalam merumuskan kebijakan dan memegang sektor ekonomi nasional agar sesuai dengan cita-cita proklamasi yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Saham ekonomi dan saham politik perlu dimiliki secara seimbang oleh umat Islam melalui keterwakilan ormas-ormas Islam dalam kebijakan serta pengelolaan ekonomi politik nasional.

Penting menyiapkan kader-kader ormas Islam termasuk dari persyarikatan Muhammadiyah hadirnya kader yang memiliki skill serta wawasan ekonomi makro, mikro, bisnis dan investasi. Sejauh mana ormas-ormas Islam menyiapkan kader milenialnya sampai dianggap pantas mengisi pos-pos ekonomi, keuangan dan industri masa depan?

Menumbuhkan skill, karakter, dan pola pikir ekonomi, bisnis dan investasi perlu menjadi tema sentral gerakan “Islam Berkemajuan” di samping mempertahankan tema-tema “tradisional” seperti keislaman dan kemuhammadiyahan sebagai software karakter wajib yang tidak bisa ditawar keberadaannya bagi kader-kader persyarikatan. Wallahu ‘alam bi ash shawab. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version