Wis Pokoke Aku Manut, Contoh Kader Tak Punya Komitmen Organisasi

Wis Pokoke Aku Manut
Sri Herawati dalam kajian virtual MPK PDA Kota Malang. (Uzlifah/PWMU.CO)

PWMU.COWis pokoke aku manut, adalah contoh ungkapan kader yang tak mempunyai komitmen berorganisasi. Diajak rapat banyak alasan, diminta berkegiatan tak mau hadir. Padahal komitmen berorganisasi kader diperlukan untuk menggerakkan Persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah.

Hal itu disampaikan Dra Hj Sri Herawati, Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Malang dalam kajian ideologi Muhammadiyah oleh Majelis Pembinaan Kader (MPK) PDA Kota Malang secara virtual Sabtu (14/8/21).

Sri Herawati mengajak semua kader Aisyiyah untuk memperkuat komitmen berorganisasi di tengah tantangan yang semakin berat . Dia merasa gerah karena  masih saja ada pimpinan persyarikatan yang mengabaikan komitmen ini.

“Ada undangan rapat, tidak mau hadir. Wis pokoke aku manut hasilnya. Kemudian ada undangan kajian juga tidak mau hadir, cuma minta rekamannya. Nah yang seperti ini, menunjukkan tidak memiliki komitmen,” tegasnya.

Menurutnya, datang ke pengajian, kajian, rapat dan lainnya secara daring itu menunjukkan semangat menolong agama  Allah. “Orang-orang mukmin itu orang-orang yang percaya, meskipun  pahala itu tidak terlihat, tapi kita percaya betul bahwa itu ada,” katanya.

Dia mengutip surat at-Taubah ayat 41 yang artinya, ”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat , dan berjihad lah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Kemudian dia lagi surat an-Nisa’ ayat 95. “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak ikut berperang), yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.”

Bu Hera, panggilan akrabnya, menuturkan, dari dua ayat tersebut sudah sangat jelas berjihad itu dengan harta dulu baru dengan jiwa. “Buka Zoom saja kalau tidak ada dukungan teknologi mana bisa. Belum lagi untuk beli paketan pulsa. Itu kan dengan uang,” sambungnya.

Dua Komitmen

Mengutip pendapat almarhum Prof Yunahar Ilyas, ibu dari tujuh anak itu mengatakan, setidaknya ada dua hal untuk melihat sejauh mana komitmen seseorang  dalam bermuhammadiyah.

Pertama, dalam pelaksanaan beragama apakah sudah sesuai dengan paham Muhammadiyah. Kedua, dalam keaktifan berorganisasi termasuk kepatuhannya dengan keputusan organisasi.

Bu Hera juga menyitir pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, Siti Noerdjannah Djohantini, ber-Muhammadiyah atau ber-Aisyiyah itu merupakan wasilah atau cara untuk hablumminallah dan hablumminannas .

”Kemudian hal tersebut diimplementasikan melalui gerakan dakwah dan tajdid dilakukan sesuai dengan kemampuan, tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan baik itu di bidang pendidikan, ekonomi, sosial maupun budaya,” ujarnya.

Selagi kita sudah berkhidmat menjadi penggiat Aisyiyah baik sebagai pimpinan atau anggota, kata dia, harus melibatkan diri secara tulus dan bersungguh-sungguh serta menaati ketentuan dalam ber-Muhammadiyah.

Dikatakan, bagi karyawan amal usaha, selain profesionalisme, keaktifannya dalam kegiatan Persyarikatan sampai tingkat ranting itu suatu keharusan karena hal itu menunjukkan komitmennya.

Masa Transisi

Dia menjelaskan, sesuai dengan keputusan Tanwir, masa jabatan kita itu ditambah sampai 2022. Diharapkan, sisa waktu ini bisa dimanfaatkan semua kader untuk memperkuat komitmen berorganisasi dengan mengasah loyalitas.

Dia mengajak seluruh pimpinan di semua level hendaknya menjadi pelopor dan contoh dalam membangun dan memperkuat komitmen tersebut. “Hubungan kita yang sudah serasi dan selaras harus tetap kita pelihara di masa pandemi ini, termasuk dengan PDM, PCM dan PRM,” ucapnya.

“Hal ini sangat penting untuk menyamakan persepsi terhadap tantangan yang kita hadapi, situasi pandemi ini berakibat ada beberapa posisi kepemimpinan  berhalangan tetap mulai dari pusat sampai ranting yang harus segera disikapi,” tuturnya.

Guru SMKN itu juga menjelaskan empat tantangan yang dihadapi pada masa transisi seperti ini, yaitu kapitalisme, hedonisme, budaya permisif, dan liberalis.

Di sisi lain juga ada problem umat Islam yang sangat memprihatinkan baik dari faktor eksternal seperti pemurtadan, nativikasi, atau sinkretisme dan de-Islamisasi atau hedonisme materialis. Faktor internal seperti fanatisme sempit, ukhuwah Islamiyah yang semu, dan ghirah perjuangan yang lemah.

Sebelum mengakhiri materinya Bu Hera mengingatkan pada 215 peserta  kajian untuk menjadi kader yang tangguh seperti yang dikatakan Khoiruddin Bashori, memiliki motivasi yang tinggi, memenuhi komitmen, kontrol diri, dan kreatif. (*)

Penulis Uzlifah  Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version