Stunting Bisa Terjadi karena Diet

Stunting dan TBC
Menko Muhadjir Effendy saat meninjau kesehatan bayi di RS.

PWMU.CO– Stunting dan Tuberkulosis (TBC) menjadi dua permasalahan serius bidang kesehatan yang dialami oleh Indonesia. Presiden Jokowi menargetkan penurunan stunting bisa mencapai angka 14% pada tahun 2024 dan eliminasi TBC diharapkan terjadi pada tahun 2030.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyelenggarakan sosialisasi Peraturan Presiden No. 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dan Peraturan Presiden No. 68/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis kepada seluruh Biro Kesejahteraan Rakyat Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Menko PMK Muhadjir Effendy menjelaskan, sosialisasi itu sebagai upaya mendukung komitmen Presiden Jokowi untuk mempercepat penurunan angka stunting dan memperkuat penanggulangan TBC sebagaimana tertuang dalam kedua Perpres tersebut.

“Saya pikir sangat bijak Bapak Presiden menurunkan dua perpres itu secara berbarengan dan saat peringatan 17 Agustus yang ke-76. Kita memang harus betul-betul memberi perhatian terhadap dua isu besar yang bisa berpengaruh terhadap performance atau kinerja dari SDM kita ke depannya,” ujar Menko PMK saat memberikan arahan sosialisasi Perpres pada Selasa (28/9/2021).

Ia mengungkap, sebenarnya stunting dan TBC tidak hanya terjadi di daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan. Kendati, stereotipe itu yang kemudian berkembang di lingkungan masyarakat pada umumnya.

“Dua-duanya ini berada dalam kategori tertentu, biasanya di lingkungan yang kumuh atau kantong-kantong kemiskinan. Akan tetapi tidak selalu terjadi seperti itu. Ada faktor-faktor di luar kekumuhan yang bisa menjadi penyebab stunting maupun TBC,” kata Muhadjir.

Salah satu yang dituding menjadi penyebab lahirnya generasi stunting, tutur mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu kurangnya pengetahuan remaja khususnya remaja putri mengenai bahaya diet ekstrem.

Diet yang dijalani tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan biasanya akan menyebabkan seseorang menderita anemia. Remaja putri yang menderita anemia sangat berisiko terutama jika kelak hamil.

“Walaupun dia bukan dari keluarga tidak mampu atau miskin, bahkan dari keluarga mampu tapi karena masa remajanya kurang paham, kurang mendapatkan informasi yang cukup tentang bagaimana diet yang baik, maka terjadi stunting,” ucap Menko PMK.

Tugas BKKBN

Demikian halnya dengan TBC juga bisa terjadi pada seseorang dengan latar belakang keluarga mampu. Yang terpenting, menurutnya, adalah bekal pengetahuan dan pemahaman yang tepat tentang pentingnya mencegah stunting dan TBC sejak dini kepada masyarakat.

“Dukungan dari pemerintah daerah juga sangat penting. Strategi yang dilakukan harus melibatkan semua pihak, apalagi saat ini kita masih dihadapkan pada masalah pandemi Covid-19 yang tidak kalah menyedot perhatian kita semua,” tegasnya.

Berdasarkan data Litbang Kemenkes diperlihatkan prediksi angka stunting tahun 2020 sebesar 26,92%. Sementara Notifikasi kasus TBC mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2017 dengan perkiraan 33% kasus masih belum terlaporkan dan angka keberhasilan pengobatan masih berada di angka 83% serta terdapat 11.463 kasus TBC resisten obat (TBC-RO).

Sesuai amanat Perpres, Presiden telah menunjuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana dan penanggungjawab percepatan penurunan stunting. Sedangkan untuk penanggulangan TBC ditunjuk sebagai penanggungjawab yaitu Kementerian Kesehatan. BKKBN dan Kemenkes keduanya berada di bawah koordinasi Kemenko PMK. (*)

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version