KH Faqih Usman Bukan Tokoh Sembarangan!

KH Faqih Usman Bukan Tokoh Sembarangan!

PWMU.CO KH Faqih Usman Bukan Tokoh Sembarangan! Demikian pernyataan Prof Dr Habib Chirzin pada Webinar #2 Tokoh Kita yang digelar Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (29/10/2021) malam.

Pakar dari The International Institute of Islamic Thought (IIIT) itu bersyukur malam itu bisa bersama-sama mendengar perjalanan kehidupan dan perjuangan tokoh nasional almarhum KH Faqih Usman. “Mas Sukriyanto dan Mas Syafiq Mughni telah menyampaikan dengan sangat teliti dari berbagai sumber,” ujarnya.

Prof Habib mengaku sangat terinspirasi tokoh KH Faqih Usman dan KH Mas Mansyur. Sejak muda, dia menganggap keduanya mutiara dari Jawa Timur. “Dalam diri KH Faqih Usman tercermin kepiawaian, kebijakan, kecermatan sangat tajam sebagai politisi, dan mubaligh yang fikihnya sangat jauh,” tambahnya.

Pengusaha dan Politikus Sukses

Faqih Usman juga seorang enterpreneur (wirausaha) yang berhasil dan dihormati masyarakat pada masa itu. “Pengusaha di bidang perikanan, kelautan, dan bahkan perkapalan,” urai Habib Chirzin.

Ketua Badan Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1990-1995 itu menekankan, ketokohan KH Faqih Usman sangat cemerlang pada masanya. Awal kemerdekaan, kiprah KH Faqih Usman menonjol di bidang wirausaha, dakwah Muhammadiyah, dan pergerakan politik lewat Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).

Faqih Usman juga menjadi anggota Badan Pemerintah Harian dan Anggota Komite Nasional Pusat (KNP) dan Ketua Komite Nasional Surabaya (1945). “Memang tokoh kita KH Faqih Usman bukan tokoh sembarangan!” komentarnya.

Habib Chirzin menerangkan, ketika Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) berdiri dengan Kongres Islam pertama di Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, KH Faqih Usman mendapat peran penting di Masyumi.

Sebelum Faqih Usman Berpulang

Pada Muktamar Ke-37 Muhammadiyah tahun 1968 di Yogyakarta, KH Faqih Usman terpilih menjabat Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “KH Faqih Usman dengan ikhlas menerima tanggung jawab dari keputusan muktamar. Beliau melaksanakan sebaik-baiknya,” ungkap Habib Chirzin.

Faqih Usman sakit waktu itu. Dia hendak berobat ke Belanda, tapi belum sempat perawatan beliau sudah berpulang. Maka, kepemimpinannya dilanjutkan Abdul Rozak Fachruddin alias Pak AR.

Habib Chirzin lantas menambahkan, keteladan AR Fachruddin—ayahanda Sukriyanto yang malam itu juga menjadi narasumber—sangat indah. “Bagaimana Pak AR waktu muktamar terpilih, beliau dengan sangat tawadhu dan ikhlas menerima kesempatan sebagai seorang yang dianggap lebih alim, cakap, berpengalaman,” terangnya.

Habib KH Faqih Usman Bukan Tokoh Sembarangan! (Tangkapan layar Sayyidah Nuriyah/PWMU.CO)

Kepribadian Muhammadiyah Jadi Inspirasi

Habib Chirzin muda—utusan Gontor, mewakili Jawa Timur—yang ikut sebagai peserta dan peninjau muktamar, menilai perjalanan KH Faqih Usman saat itu indah. “Ada legacy dari kepemimpinan Kiai Faqih Usman, yaitu dengan dirumuskannya Kepribadian Muhammadiyah,” ungkapnya.

Dia menyatakan, Kepribadian Muhammadiyah sangat melekat pada dirinya. Bahkan, usai Habib Chirzin menikah, dia dan istrinya mendirikan Forum Studi Perdamaian dan Etika Pembangunan karena terinspirasi dari ini.

“Muhammadiyah dalam perjuangannya, memperjuangkan perdamaian, kesejahteraan, dan mementingkan persaudaraan dan persatuan. Inilah nilai-nilai luhur yang kemudian menuntun hidup saya,” ungkapnya.

Sebelumnya, Habib berkonsultasi dengan Projo Kusumo, Ketua Majelis Pendidikan Pusat, sekarang disebut Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah. “Apakah Pak Projo sebagai Tokoh Muhammadiyah yakin Kepribadian Muhammadiyah dapat diterapkan?”

Projo menegaskan yakin 10 Kepribadian Muhammadiyah itu bisa diterapkan. Maka, Habib Chirzin ikut yakin menjadikannya pegangan atau obor dalam kehidupan. “Kepribadian Muhammadiyah nomor satu, membawa saya ke PBB New York, itu inspirasi dari legacy yang ditinggalkan Kiai Faqih Usman,” tuturnya.

Menutup penjelasannya, Habib Chirzin mengimbau untuk melanjutkan kajian ketokohan. Dia juga berharap kisah keteladan yang disampaikan dalam kajian ini bisa ditulis kembali. “Yang kita perlukan sekarang ini keteladanan!” tuturnya. (*)

Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version