Omnibus Law Cacat, KAMI Tuntut Aktivis Dibebaskan

Omnibus Law Cacat
Aktivis KAMI dari kiri Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Syahganda Nainggolan.

PWMU.CO– Omnibus law cacat, KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) menuntut peradilan terhadap aktivis harus dihentikan dan memvonis bebas sejak dikeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945.

Demikian pernyataan Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditandatangani Jenderal TNI (Pur) Gatot Nurmantyo, Prof Dr Rochmat Wahab, dan Prof Dr M Din Syamsuddin yang dikeluarkan Ahad (28/11/2021).

Dua aktivis KAMI yang masih dalam proses peradilan dengan tuduhan menciptakan kerusuhan demonstrasi Omnibus Law adalah Jumhur Hidayat dan Anton Permana.  Sedangkan aktivis Syahganda Nainggolan yang telah divonis dan dipenjara secara semena-mena, pemerintah diminta merehabilitasi nama dan kehormatannya.

”Selayaknya pemerintah juga merehabilitasi nama dan kehormatan para korban lainnya yang meninggal dunia akibat kekerasan aparat saat berlangsungnya aksi massa memprotes UU Cipta Kerja, atau yang telah ditangkap, diadili dan dipenjarakan oleh negara karena dianggap sebagai penghalang berlakunya UU Cipta Kerja, demi tegaknya kembali kewibawaan pemerintah di dalam sistem negara hukum,” demikian pernyataan KAMI.

Bertentangan UUD 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 dalam perkara Pengujian Formil Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945.

”Dengan demikian UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus law cacat formil dan inkonstitusional berdasarkan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.”

KAMI mengimbau agar semua pihak patuh dan taat kepada putusan MK tersebut. Sebab MK secara konstitusional adalah lembaga yang merupakan benteng terakhir penjaga konstitusi negara Indonesia (Code of conduct kepada MK).

Inti amar putusan yang mengabulkan uji formil UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuktikan, substansi gugatan yang merupakan protes, kritik, dan masukan dari masyarakat luas terhadap undang-undang tersebut adalah benar secara konstitusional.

”Dengan demikian sikap pemerintah yang tidak aspiratif sejak sebelum Omnibus Law menjadi undang-undang dapat dinilai sebagai suatu kesalahan.”

Bersambung ke halana 2: Kekuatan Partisipasi Masyarakat

Omnibus Law Cacat
Aktivis KAMI dari kiri Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Syahganda Nainggolan.

Kekuatan Partisipasi Masyarakat

Untuk menyelamatkan konstitusi, sudah seharusnya masyarakat ikut berpartisipasi, seperti yang dilakukan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja. Tanpa ada kritik dan masukan dari masyarakat, maka sama saja dengan kita membiarkan UU yang melanggar konstitusi dan nilai-nilai demokrasi terus dipergunakan.

”Partisipasi masyarakat ini harus dipandang sebagai fungsi check and balance yang masih berjalan, bukan sebagai ancaman bagi kekuasaan pemerintah.”

Berbagai aksi protes terhadap UU Cipta Kerja di berbagai daerah hingga menimbulkan kerusakan fasilitas umum, korban jiwa dan penangkapan-penangkapan juga harus dilihat sebagai konsekuensi dari sikap keras pemerintah yang memaksakan UU Cipta Kerja segera diberlakukan meskipun negara masih dalam kondisi krisis dan rakyat sangat menderita akibat pandemi Covid-19.

Selain itu, ini merupakan kecerobohan pemerintah dalam menegakkan hukum dengan menangkap dan menahan warga negara sehingga mengalami penderitaan lahir dan batin. (*)

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version