Juanda: Guru Muhammadiyah, Tak Sekadar Nama Bandara

Ir Raden Hadji Djoeanda Kartawidjaja.

Juanda: Guru Muhammadiyah Tak Sekadar Nama Bandara, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah

PWMU.CO – Banyak yang mengenal Juanda hanya sebagai nama bandara di Surabaya. Juga, tahu Juanda sekadar sebagai nama sebuah Taman Hutan Raya di Bandung. Sementara Juanda sebagai Pahlawan Nasional, tokoh dengan banyak prestasi—antara lain berupa Deklarasi Juanda 13 Desember 1957—dan aktivis Muhammadiyah di masanya, tak banyak yang mengerti. 

Nama Juanda diabadikan sebagai nama bandara di Surabaya tersebab atas jasa dia dalam memperjuangkan pembangunannya. Nama Juanda juga diabadikan lewat Taman Hutan Raya Ir H Juanda. Di Taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir H Juanda. 

Sekilas Profil

Masyarakat biasa menulis nama dia sebagai Juanda. Adapun nama lengkap (beserta gelar)-nya adalah Ir Raden Hadji Djoeanda Kartawidjaja. Gelar Ir berhak disandangnya karena dia lulusan teknik sipil Technische Hoogeschool te Bandoeng pada 1933. Nama lembaga pendidikan yang disebut terakhir itu, kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Lelaki cerdas ini lahir pada 14 Januari 1911 di Ta­sikmalaya, Jawa Barat. Di keluarga, Juanda putra pertama. Sang ayah bernama Raden Kartawidjaja, seorang Mantri Guru pada HIS. 

Bersama Muhammadiyah

Di kala muda, Juanda aktif di Paguyuban Pasundan. Dia juga anggota Muhammadiyah, bahkan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhammadiyah. 

Pada 1933 setelah lulus dari ITB dia memilih untuk mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta. Gaji Juanda, seadanya. Padahal, di saat yang sama dia ditawari menjadi asisten dosen di ITB yang tentu dengan gaji lebih besar.

Ada yang menarik, terkait kesaksian Juanda tentang keanggotaannya di Muhammadiyah. Ketika Muktamar Muhammadiyah pada 1962, bertepatan setengah abad perserikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu, Juanda menyampaikan semacam pengakuan.

Bahwa, “Karena mengindahkan petunjuk orangtua saya, saya kenali Muhammadiyah. Bukan sekadar kenal saja, tetapi saya malah dipercaya memasak kecerdasan putera-puteri anak didik Muhammadiyah di masa itu. Penderitaan hidup dan pahit getir, bagi Muhammadiyah bukan soal, adanya hanya kepuasan hati karena kerjasama di antara kita dan pengurus Muhammadiyah tetap terjalin dengan ukhuwah Islamiyah yang seerat-eratnya,” kenang Juanda.

Baca sambungan di halaman 2: Jejak Panjang

Ir Raden Hadji Djoeanda Kartawidjaja. Juanda: Guru Muhammadiyah, Tak Sekadar Nama Bandara

Jejak Panjang

Amanah jabatan di pemerintahan yang dijalaninya cukup komplit. Juanda berkarir dalam berbagai posisi pengabdian kepada negara dan bangsa. 

Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, yaitu sejak 1933, lalu pada 1937 Juanda mengabdi di Jawatan Irigasi – Provinsi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Berbagai posisi Menteri, yang pernah dipercayakan kepada Juanda, ada di bagian bawah tulisan ini. Intinya, dia memang punya prestasi yang banyak dan cemerlang.

Deklarasi Monumental

Di antara hasil kerja Juanda yang sulit kita lupakan adalah Deklarasi Juanda 1957. Deklarasi itu menyatakan bahwa laut Indonesia adalah laut sekitar, di antara,  an di dalam kepulauan Indonesia. Itu semua menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Bisa dibilang, inilah sumbangan terbesar Juanda. Deklarasi Juanda strategis karena pada waktu itu Indonesia sedang dipecah-pecah kepulauannya, di mana laut dianggap terpisah. 

Kemudian, dalam perkembangannya, Deklarasi Juanda menjadi titik tolak kesatuan negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS). Hukum Laut Internasional ini, yang diakui PBB tahun 1982 dan diperjuangkan Indonesia di masa Menteri Luar Negeri Mochtar Koesoemaatmadja, diakui PBB bertolak dari Deklarasi Juanda.

Baca sambungan di halaman 3: Suka dan Duka

Ir Raden Hadji Djoeanda Kartawidjaja.

Suka dan Duka

Pada 28 September 1945 Juanda memimpin para pemuda mengambil alih jawaban kereta api dari Jepang. Lalu, disusul pengambilalihan jawatan pertambangan, kotapraja, keresidenan, dan objek-objek militer di Gudang Utara Bandung. 

Tentu, kehidupan seseorang tak akan bergerak linear. Suka dan duka akan datang silih berganti. Tercatat, di masa perjuangan, beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya, dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Saat itu, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan delegasi Indonesia. 

Juanda, seperti banyak pejuang lainnya, pernah ditangkap musuh. Dia ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. 

Dalam menghadapi lika-liku perjuangan, Juanda mampu menghadapi semua tantangan itu. Dia berhasil mendapatkan jalan penyelesaian terbaik demi kepentingan bangsa dan negara.

Pejuang Maraton

Mengingat jalan panjang pengabdiannya kepada bangsa dan negaranya, maka kalangan pers menjuluki Juanda sebagai Menteri Maraton. Hal ini, karena sejak 1946 dia sudah mendapat aneka amanah jabatan yang tak pernah putus. 

Lihatlah, Juanda pernah menjabat sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu dia diangkat sebagai Menteri Perhubungan. Pernah pula menjabat sebagai Menteri Keuangan. 

Perhatikanlah, Juanda pernah menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan 1957-1959 serta Menteri Pertama pada masa demokrasi terpimpin 1959-1963. Singkat kisah, dari 1946 sampai meninggal tahun 1963, Juanda menjabat sekali sebagai Menteri Muda, 14 kali sebagai Menteri, dan sekali sebagai Perdana Menteri (Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri, Febriansyah, 2013: 84).

Pejuang dan tokoh nasional itu meninggal pada 7 November 1963 di Jakarta dalam usia 52 tahun. Tiga pekan setelahnya, atas pengabdiannya yang tanpa lelah, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 29 November 1963. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version