Hamka dan Barisan Insan Takwa

Buya Hamka, Jakarta, 1981. (Dok Tempo/Ed Zoelverdi)

Hamka dan Barisan Insan Takwa; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang(terbit 2024) dan sebelas judul lainnya

PWMU.CO – Takwa adalah ajaran pokok Islam. Lihat misalnya, di bagian awal khotbah Jum’atnya, semua khatib berkewajiban menyampaikan pesan takwa. Lalu, di bulan Ramadhan, takwa menjadi tema utama berbagai kajian di dalamnya. Hal ini, karena berdasar al-Baqarah 183, semua kaum beriman wajib berpuasa agar mereka menjadi insan bertakwa.

Apa takwa? Menurut Prof Dr Hamka di Tafsir Al-Azhar, takwa “Jangan selalu diartikan takut”. Hal ini, karena “Takut hanyalah sebagian kecil dari takwa. Dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar, dan sebagainya”. Hamka lalu menyimpulkan, bahwa “Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal shaleh” (1986: 115).   

Selanjutnya, insya Allah menjadi lebih mengesankan jika kajian tentang takwa kita lengkapi dengan kisah-kisah nyata sejumlah insan teladan. Kisah, kita tahu, bisa menambah daya gugah untuk juga mengamalkan apa-apa yang telah dilakukan para teladan itu. Untuk keperluan tersebut, mari ikuti kisah-kisah berikut ini.

Cinta Allah    

Pertama, ada gelegak cinta kepada Allah pada insan bertakwa. Simaklah, bahwa oleh karena cinta kepada Allah, kita ringan bangun di tengah lelap tidur dan udara dingin, untuk shalat subuh. Oleh karena cinta kepada Allah, kita berpuasa, berzakat, dan berhaji sekalipun ada tantangan besar yang sebenarnya dapat menghalangi kita dalam melaksanakan ketiga jenis ibadah utama itu.

Kita garis-bawahi, “Cinta kepada Allah”. Lalu, rasakanlah nasihat yang menggetarkan dari Abu Bakar Ra kepada umat Islam di Madinah saat Rasulullah Saw wafat. Kala itu, mereka terguncang seperti tak rela ditinggalkan Muhammad Saw. 

Berkatalah Abu Bakar Ra: “Siapa saja yang mencintai Muhammad, maka Muhammad telah mati. Tetapi siapa saja yang mencintai Allah, Allah selamanya hidup – tidak mati-mati.”        

Kasih nan Tulus

Kedua, insan bertakwa itu penuh kasih. Perhatikan, ada pelajaran besar di Perang Yarmuk, saat umat Islam berhadapan dengan tentara Romawi. Perang itu di bawah komando Panglima Khalid bin Walid Ra, Sahabat Nabi Muhammad Saw yang tak terkalahkan.

Di peristiwa itu, turut berperang Ikrimah bin Abi Jahal, sosok yang dulu (bersama ayahnya) pernah memusuhi Islam. Di Perang Yarmuk, dia berjuang untuk Islam secara total. Dia terus maju menghadapi musuh tiada gentar sedikitpun. Tercatat, sudah banyak tentara musuh yang tewas di tangannya. 

Sayang, Ikrimah akhirnya terluka parah. Ia dibaringkan berdekatan dengan Harits bin Hisyam dan Suhail bin Umair yang juga terluka parah. Akibat kehilangan banyak darah, mereka sangat haus.

Ketika seorang perawat hendak memberi Ikrimah segelas air minum, tiba-tiba Harits mengeluh kehausan. Ikrimah meminta air itu untuk diberikan ke Harits saja. Namun, belum lagi bibir Harits menyentuh gelas, Suhail mengerang kehausan. Harits pun mendahulukan Suhail untuk minum. Tapi, Suhail pun tidak jadi minum dan mendahulukan Ikrimah yang kembali mengerang kehausan.

Begitu gelas berisi air itu didekatkan ke bibir Ikrimah, ternyata dia sudah meninggal. Demikian pula ketika air hendak diminumkan ke Harits, ternyata dia juga telah tiada. Lalu, Suhail menyusul syahid pula. Ketiganya gugur di medan jihad tanpa sempat minum untuk kali yang terakhir. Masyaallah, kasih mereka kepada saudara sesama Muslim luar biasa besar!

Selalu Optimis

Ketiga, selalu ada harap pada diri insan bertakwa. Cermati kisah tiga orang yang terjebak di gua tapi mereka tetap punya harapan untuk bisa keluar dengan cara berdoa. Berikut ini, kisah berdasar HR Bukhari-Muslim yang bersumber dari Abdullah bin Umar Ra.

Ada tiga orang, dari umat sebelum Nabi Muhammad SAW, sedang dalam sebuah perjalanan. Mereka bermalam di sebuah gua. Tiba-tiba batu besar jatuh, menutupi mulut gua. 

Lalu di antara mereka ada yang berkata: “Tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari batu besar ini, kecuali berdoa kepada Allah dengan perantaraan amal-amal shaleh (terbaik) kita masing-masing”.

Lalu orang pertama dari mereka memanjatkan doa. “Ya Allah, dulu aku punya dua orang tua yang sudah lanjut usia. Aku tidak pernah memberi susu kepada siapa pun sebelum kepada mereka berdua. Pada suatu hari, aku pergi untuk suatu keperluan. Saat aku pulang, ternyata keduanya telah tertidur. Aku bergegas memerah susu, namun kudapati beliau berdua masih tertidur. Aku bertekad tidak akan memberikan minum susu itu kepada keluarga atau sahayaku sebelum kedua orang tuaku meminumnya. Maka, aku menunggu mereka bangun, sambil tanganku memegang gelas yang terisi susu hingga fajar subuh tiba. Keduanya lalu terbangun, kemudian meminum susu tersebut”.

“Yaa Allah, jika perbuatan itu benar-benar aku kerjakan ikhlas karena mengharap ridha-Mu, maka hilangkanlah kesulitan berupa batu besar yang ada di hadapan kami ini”.

Batu besar itu terbuka sedikit, namun celahnya belum cukup dilalui mereka untuk keluar dari gua. Lalu, orang kedua berdoa.

“Yaa Allah, aku punya sepupu perempuan. Dahulu ia adalah orang yang paling aku cintai. Aku sangat berharap ia menjadi kekasihku. Namun, ia menolak cintaku. Setelah berlalu beberapa tahun, ia mendatangiku karena sedang butuh uang. Aku pun memberi 120 dinar dengan syarat ia mau ‘tidur’ denganku. Ternyata ia mau. Sampai ketika aku akan menggaulinya, perempuan itu berucap, ‘Tidak halal bagimu kecuali dengan cara yang halal (yaitu dengan menikahi)’. Kata-kata itu tiba-tiba membuatku sadar dan aku batalkan hasrat buruk itu. Aku pergi meninggalkannya, padahal perempuan itu orang yang paling aku cintai. Aku tinggalkan dia bersama kepingan emas yang sudah aku berikan kepadanya”. 

“Yaa Allah, jika perbuatan itu benar-benar aku kerjakan ikhlas karena mengharap ridha-Mu, maka hilangkanlah kesulitan berupa batu besar yang ada di hadapan kami ini”.

Batu besar itu kembali bergeser membuka, namun celahnya belum cukup dilalui mereka untuk keluar dari gua. Kemudian, orang ketiga berdoa.

“Ya Allah, dulu aku punya beberapa pegawai. Gaji aku berikan kepada mereka. Sampailah, ada satu pegawai yang berhenti bekerja. Dia pergi meninggalkan jatah gajinya. Gaji itupun aku kembangkan hingga menghasilkan banyak harta”. 

“Setelah beberapa waktu, pegawai itu datang menemuiku. Ia menagih padaku, ‘Wahai hamba Allah, saya ingin mengambil gajiku yang belum saya ambil dahulu.’ Maka aku menjawab, ‘Semua yang kamu lihat ini, berupa unta, sapi, kambing, dan hamba sahaya adalah gajimu yang belum kamu ambil.’ Maka ia menjawab, ‘Wahai hamba Allah! Jangan bercanda!’ Aku menjawab, ‘Saya tidak bercanda denganmu’. Kemudian semua harta diserahkan kepada si pegawai tanpa sisa sedikit pun”.

“Ya Allah, jika perbuatan itu benar-benar aku kerjakan ikhlas karena mengharap ridha-Mu, maka hilangkanlah kesulitan berupa batu besar yang ada di hadapan kami ini”.

Gua yang sebelumnya tertutup pun terbuka. Akhirnya, mereka semua dapat keluar. 

Cemas yang Beralasan

Keempat, ada rasa cemas (untuk berbuat yang tak diridhai Allah) pada insan takwa. Perhatikan kisah pemuda Idris berikut ini.

Di sebuah hari, Idris dalam sebuah perjalanan, menyusuri pematang sungai. Kondisinya saat itu, lapar dan haus. Dalam situasi itu, dilihatnya ada sebuah apel mengapung di permukaan sungai.

Melihat ada buah, refleks (karena lapar) dia ambil apel itu dan lalu memakannya. Tapi, yang demikian itu, hanya beberapa kunyahan. Selanjutnya dia merasa bersalah karena apel itu bukan miliknya. Dia cemas, bahwa yang dilakukannya itu sebentuk dosa.

Disusurilah sungai itu ke arah hulu. Idris punya kalkulasi, apel itu jatuh dari pohon yang tumbuh tak jauh dari sungai di daerah hulu. Lapar tak dipedulikannya lagi.

Selanjutnya, bertemulah Idris dengan sebuah pohon apel yang dia yakini buahnya jatuh ke sungai lalu hanyut dan ditemukannya tadi. Berbekal keyakinan itu, Idris menemui pemilik rumah yang ada pohon apelnya. 

Setelah ketemu, Idris lalu ucapkan isi hatinya yang gundah karena secara tak sengaja telah memakan apelnya. Si Bapak, pemilik rumah sekaligus pohon apel itu, lalu memberi syarat. Bahwa, dia akan memaafkan Idris jika dia bersedia menikahi putrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Atas syarat itu (yang sangat berat bagi kebanyakan orang), Idris menyanggupinya. 

Singkat kisah, Idris lalu dinikahkan dengan pueri yang dimaksud. Ternyata, si puteri itu tak seperti yang dikatakan si Bapak. Si putri itu normal; tidak buta, tidak tuli, tidak bisu, dan tidak lumpuh.

Lalu, si Bapak menjelaskan kepada Idris atas apa yang membuatnya dipenuhi pertanyaan besar itu. Kata si Bapak, semua yang ia sampaikan sebelumnya ada dalam bingkai bahasa metafora atau perlambang.

Sang puteri disebutnya “buta”, karena mata dia tak pernah digunakan melihat hal-hal yang membuat Allah tidak ridha. Disebut “tuli”, karena telinga dia tak pernah dipakai untuk mendengar apa-apa yang Allah tak suka. Disebut “bisu”, karena lisan dia tak pernah berbicara kecuali dalam hal kebaikan. Disebut “lumpuh” karena kaki dia tak sekalipun diajak untuk melangkah ke tempat-tempat yang dilarang Allah.

Demikianlah, Idris si pemuda shaleh menikah dengan seorang wanita yang shalehah. Dari pasangan ini, di kemudian hari, lahir Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah.

Sepenuh Tawakkal 

Kelima, insan takwa punya sikap tawakal. Adapun tawakal adalah sebentuk keyakinan yang penuh bahwa Allah Sang Pemilik dan Pengatur segala sesuatu di alam semesta ini. Oleh karena itu, antara lain, jangan pernah ragu saat harus menginfakkan harta dalam jumlah yang banyak.

Lihatlah keteguhan Abu Bakar Ra dalam berinfak, terutama saat kaum muslimin akan maju di Perang Tabuk, di kisah yang ada dalam HR Daud dan Tirmidzi. Bahwa, tanpa ragu-ragu sedikitpun, Abu Bakar Ra menginfakkan seluruh hartanya. 

Atas hal itu, Rasulullah Saw bertanya, tentang apa sisanya untuk diri dan keluarga. Dengan tenang Abu Bakar Ra menjawab, “Sisanya masih banyak, yaitu Allah dan Rasul-Nya”. 

Abu Bakar RA memang sangat dikenal sebagai suka berinfak. Bahkan, orang sekelas Umar bin Khattab RAsempat “iri” dalam hal prestasi berinfak Abu Bakar Ra. Berikut ini penuturan Umar bin Khattab RA, sebagaimana yang ada di HR Abu Daud dan Tirmidzi. 

Rasulullah Saw meminta kami untuk berinfak. Ketika itu saya mempunyai sejumlah harta. 

“Hari ini saya akan mendahului Abu Bakar,” batin saya. Maka saya datang membawa separuh harta saya. 

“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu,” tanya Rasulullah Saw. 

“Saya sisakan kepada mereka sejumlah itu pula,” jawab Umar bin Khaththab Ra. 

Lalu datanglah Abu Bakar Ra dengan membawa seluruh hartanya. 

“Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu,” tanya Rasulullah Saw. 

“Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya,” respons Abu Bakar Ra.

Umar bin Khaththab Ra berkesimpulan, “Saya tak akan mampu selamanya mendahului Abu Bakar Ra (dalam berinfak)”. 

Ridha – Menerima

Keenam, insan takwa itu ridha. Apa Ridha? Mengutip Ensiklopedi Islamrepublika.co.id menulis, bahwa ridha adalah menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah. 

Perhatikan, kita ridha atas semua yang menimpa (baik yang menyenangkan ataupun yang tidak) karena “segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah”. Lihatlah, sikap ridha Bilal dan Sumayyah dalam menerima siksaan sang majikan masing-masing di awal keislaman mereka.

Sabar nan Indah 

Ketujuh, insan takwa itu sabar. Lihatlah, Mush’ab bin ‘Umair Ra. Ciri yang paling mudah dikenali dari salah satu Sahabat Nabi Saw ini adalah: Dia tampan, anggun, rapi, dan wangi. Parfumnya, bisa tercium sampai jauh. Dengan “modal” itu, beliau punya daya pikat yang memesona semua yang memandangnya. 

Sungguh, memandang wajah Mush’ab bin ‘Umair Ra dan lalu menyimak tutur katanya merupakan kenikmatan. Di titik ini, adalah keputusan yang sangat mudah dipahami saat Mush’ab bin ‘Umair Ra dipilih Rasulullah Saw sebagai Duta Islam ke Yatsrib (belakangan bernama Madinah) untuk mendapatkan kader sebanyak mungkin (Salim A. Fillah, 2017).

Tapi, sebelumnya, Mush’ab punya kisah sedih dengan orangtuanya. Orangtuanya yang kafir dan sangat kaya serta terpandang tak rela anak yang sangat dibanggakannya itu masuk Islam. Maka, diputuslah hubungan orang tua-anak. Mush’ab tak diakui lagi. 

Atas perlakuan itu, Mush’ab sabar. Dia rela meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dinikmatinya selama ini. Dia memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda yang sebelumnya berpenampilan wah dan wangi itu kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaian yang kasar dan kusam. Sehari ada kalanya dia makan dan beberapa hari menderita lapar. 

Mush’ab sabar, sebab jiwanya telah dihiasi dengan akidah yang suci. Hal itu telah mengubah dirinya menjadi seorang manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani (Khalid, 2018: 38).

Sang Panutan

Demikianlah, semoga takwa bisa kita jadikan bekal dalam mengarungi kehidupan ini. Lalu, bagaimana dengan performa Hamka sendiri?

Pada Hamka ada cinta kepada Allah. Oleh karena cinta kepada Allah, hidup dari lelaki yang lahir pada 1908 dan wafat 1981 ini, dipenuhi dengan perjuangan dalam dunia dakwah. Dia dikenal sebagai Ulama Besar.

Pada Hamka ada sabar, ridha dan tawakal. Hal itu, antara lain, terlihat saat dia ditahan secara tidak sah oleh rezim Orde Lama selama dua tahun empat bulan.

Pada Hamka ada kasih. Lihat, saat Soekarno meninggal, dia berkenan menjadi imam shalat jenazah dari pemimpin Orde Lama itu. 

Memang, pada Hamka ada kasih. Lihat, sosok Pramoedya Ananta Toer yang pernah tak henti-henti menyerang Hamka. Novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain karena Hamka adalah seorang sastrawan yang antikomunis, tokoh Muhammadiyah, dan aktivis Masyumi.

Di belakang tahun, Pramoedya meminta putrinya datang menemui Hamka untuk belajar Islam. Lalu, setelah sempat tertegun sejenak karena terharu, Hamka ikhlas berkenan membimbing si tamu. Tak lupa pula, kala itu, Hamka menitipkan salam untuk Pramoedya.

Pada Hamka ada harap. Hamka sadar, bahwa pekerjaan dakwah itu tidak sekali jadi. Semua butuh proses.

Di sebuah hari, datang perempuan dengan busana kurang elok. Dia bertamu ke seorang Ulama Besar dengan kostum siap main tenis dan lengkap dengan raketnya.

“Pak Hamka, saya ingin belajar agama,” aku si perempuan.

“Tapi,” lanjut dia, “Saya ini selalu main tenis.”

Merujuk kepada pernyataannya, si tamu tampaknya merasa bahwa antara belajar agama dan main tenis adalah dua hal yang bukan saja berbeda tapi juga berseberangan. Mungkin, dia berpikir, main tenis yang nyaris identik dengan berpakaian sangat terbuka itu tak akan sejalan dengan spirit kegiatan belajar agama.

“Main tenis saja (dulu), Bu,” respons Hamka.

“(Nanti) kalau ngaji–belajar agama-silakan datang ke sini,” lanjut Hamka dengan lembut. 

Di fragmen di atas, tak ada ceramah Hamka tentang kewajiban “berbusana Muslimah” seperti yang telah diatur oleh Islam. Di pertemuan itu, tiada khutbah terkait larangan membuka aurat bagi perempuan dan laki-laki Muslim. Boleh jadi, dalam kalkulasi Hamka saat itu, si tamu belum tentu siap jika dikhutbahi secara lengkap perihal aturan dalam berbusana menurut Allah dan Rasul-Nya.

Lalu, bagaimana perkembangan performa “Tamu perempuan berbaju tenis” itu? Berubah-lah dia! Misal, dia-yang lalu dekat dengan anak-anak Hamka dan mereka menyapanya dengan sebutan “Tante Rafi’ah”–rajin mengikuti ceramah Hamka. Dia selalu berjilbab. Bahkan, sampai meninggal, dia istiqomah menegakkan tahajjud.

“Kalau kita datang ke Masjid Al-Azhar untuk shalat subuh berjamaah, kita akan mendapatinya tengah menyelesaikan tahajud,” demikian Afif–putra Hamka-mengenang sosok perempuan “Berbusana tenis” yang telah hijrah itu. Masyaallah!

Pada Hamka ada cemas. Beliau cemas terhadap nasib umat Islam. Terkait, bermula dari cemas lalu muncul sikap tegas sekaligus berani dari Hamka. Benar, Hamka tegas untuk hal-hal yang menyangkut akidah.

Pada 1977 Hamka dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi, dia mengundurkan diri pada 1981 karena saat itu penguasa meminta MUI untuk mencabut fatwa haram Natal Bersama. “Kalau ulama mau dipaksa mencabut fatwanya, lebih baik berhenti menjadi ulama,” kata Hamka.

Demikian, penjelasan tentang takwa oleh Hamka. Dilengkapi pula dengan kisah-kisah nyata yang relevan dengan berbagai sisi yang ada pada diri insan bertakwa. Lalu yang tak kalah mengesankan, bisa dibilang, semua aspek yang merupakan bagian dari ciri-ciri insan bertakwa ada pada sosok Hamka.

Semoga Allah kuatkan kita dalam meneladani mereka, para insan yang bertakwa. Mudah-mudahan, setelah bisa mencontohnya, kita istikamah di jalan takwa. (*)  

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version