Hamka tentang Keutamaan Nahi Mungkar

Bukan artis sinetron, tapi Hamka yang harusnya diidolakan para pemuda. Demikian catatan Mahyuddin, guru SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo (Miosi).
Hamka tentang Keutamaan Nahi Mungkar (foto harianhaluan.com)

Hamka tentang Keutamaan Nahi Mungkar; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang (terbit Ramadhan 2024) dan 10 judul lainnya

PWMU.CO – Di antara catatan perjalanan negeri ini, ada performa Front Pembela Islam (FPI) yang menarik kita kaji. FPI konsisten mengamalkan nahi munkar dan amar makruf (penyebutan nahi munkar sengaja disebut terlebih dahulu, baru kemudian amar makruf).

Seperti apa contoh nahi munkar yang pernah dilakukan oleh FPI? Berbedakah “semangat” dari cara mengurutkan penyebutan antara nahi munkar dan amar makruf menurut Hamka saat memberi tafsir atas Ali ‘Imran 110? 

Spirit Anshary-Natsir 

Tentang kiprah FPI, ini contoh pertama. Di Serang, Banten, ada Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang “Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat”. Pada 8 Juni 2016 Satpol PP-nya melakukan razia terkait penegakan Perda itu. Ibu Santi (sebut saja begitu, usia 53 tahun) termasuk yang kena razia. Ini, karena dia membuka warungnya di waktu yang tidak tepat di saat Ramadhan seperti yang telah diatur Perda.

Banyak media yang memberitakan razia itu. Tapi, khusus sebuah media besar di Jakarta, dinilai oleh FPI telah melakukan pemberitaan secara tendensius dan bertujuan menghapus Perda Syariat Islam di berbagai daerah sehingga melukai umat Islam. Maka, bersuratlah FPI meminta waktu untuk sebuah audiensi dan klarifikasi.

Pada 17 Juni 2016 terjadilah pertemuan yang dimaksud. FPI menyoal dan si media merespons. Perwakilan media itu berterima kasih atas masukan dari FPI. Dia mengatakan, bahwa medianya memang membutuhkan teman yang bisa meluruskan jika ada yang melenceng.

Di titik ini, sepertinya FPI sangat menghayati sekaligus mempraktikkan apa yang pernah dinyatakan oleh KH M. Isa Anshary. “Dunia dan manusia jangan dibiarkan hanya mendengarkan kebohongan dan kepalsuan,” kata tokoh Masyumi berjuluk Singa Podium itu (Anshary, 1964: 24).

Terkait kiprah FPI, ini contoh kedua. Dalam tayangan Sahur Ramadhan Sabtu 11 Juni 2016 pukul 03.18 WIB, salah satu stasiun televisi nasional menampilkan dua pengisi acara berjilbab tapi dengan busana bertanda salib yang cukup jelas.

“Gambar yang bermasalah” itu lalu menyebar secara viral di media sosial dan cukup meresahkan masyarakat. FPI bergerak, beraudiensi dan minta klarifikasi. Hasilnya, stasiun televisi tersebut meminta maaf atas kasus lambang salib di acara Ramadhan.

Di titik ini, sepertinya FPI tidak ingin seperti yang pernah dikhawatirkan oleh M. Natsir. “Satu-satunya yang diperlukan yang batil untuk maju mencapai kemenangannya adalah asal saja yang haq tinggal diam, tak berbuat apa-apa,” kata tokoh Masyumi yang pernah menjadi Perdana Menteri RI itu (Djaelani, 216: 130).

Pesan Hamka

Sebenarnya, apa yang dilakukan FPI itu sesuatu yang standar bagi umat Islam. Kaum beriman memang diperintah Allah untuk aktif beramar makruf nahi munkar. Maka, mestinya apa yang dikerjakan oleh FPI itu biasa-biasa saja. Tapi, karena–terutama di negeri ini-tak banyak orang atau pihak yang memiliki keberanian untuk bernahi-munkar, maka yang mestinya biasa-biasa itu lalu tampak luar biasa.

Bacalah ayat ini: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali ‘Imran  110). 

Terkait ayat di atas, sangat menarik saat kita buka Tafsir Al-Azhar karya Hamka. Dikatakan, bahwa syarat agar kaum Muslimin menjadi “Umat yang terbaik” adalah jika mereka ”Beramar makruf, bernahi mungkar, dan beriman kepada Allah”. Ketiga dasar (atau syarat) itu, kata Hamka, hakikatnya adalah satu kesatuan. Harus ada pada saat yang sama.

Selanjutnya, Hamka menyatakan bahwa di dalam memahami Ali ‘Imraan 110, hendaklah kita mengambil mafhumnya dari bawah, dibaca dengan sungsang: 1). Beriman kepada Allah. 2). Berani melarang yang munkar. 3).Berani menyuruh dan memimpin sesama kepada yang makruf. 

Lalu, masih kata Hamka, berani melarang yang munkar adalah implikasi pertama dari iman kepada Allah. Iman kepada Allah membuat manusia merdeka dari pengaruh yang lain, sebab yang lain itu hanyalah makhluk Tuhan belaka. Keimanan menghilangkan rasa takut dan–sebaliknya-menimbulkan daya hidup.

Dari paragraf di atas, meski ketiga syarat “Umat terbaik” itu satu kesatuan yang tak terpisahkan, tampaknya Hamka merekomendasikan urutannya, sebagai berikut: Beriman kepada Allah, berani melarang yang munkar, dan berani menyuruh kepada yang makruf.

Memang, bernahi-munkar itu beresiko. Tapi, kata Hamka, “Percaya kepada Allah, itulah yang menghilangkan segala rasa takut. Orang yang beriman kepada Allah adalah berani, karena takutnya”. Maksudnya, “Dia berani menghadapi segala macam bahaya di dalam hidup, karena dia takut kepada siksa Allah sesudah mati. Dia berani mati”.

Suatu saat, di zaman pendudukan Jepang, Hamka bertanya kepada sang ayah yang sekaligus juga gurunya yaitu Syaikh Abdul Karim Amrullah: “Tidakkah engkau takut akan siksa Kempetai Jepang?” Pertanyaan ini diajukan Hamka saat melihat sang ayah tidak mau ruku’ (seikerei) ke arah Istana Jepang.

“Ayah tidak takut kepada mati, hai Anakku! Hal yang Ayah takuti ialah yang sesudah mati,” tegas Syaikh Abdul Karim Amrullah.

Alhasil, kata Hamka, selama amar makruf nahi munkar masih ada, itulah alamat bahwa umat ini masih bernafas. Tapi, jika amar makruf nahi munkar telah tiada, itu pertanda umat Islam telah mati walau fisik masih ada.

Mengingat urgensinya, sekali lagi Hamka menekankan bahwa selama amar makruf nahi munkar ada, maka selama itu pula Islam masih akan tetap hidup dan memberikan hidup. Selama itu pula umat Islam akan menjadi yang sebaik-sebaik umat di antara manusia. 

Tak lupa, Hamka mengingatkan tentang sebuah keadaan yang buruk bagi mereka yang abai terhadap aktivitas amar makruf nahi munkar. Bahwa, mereka akan ditimpa azab Allah. Untuk itu Hamka mengutipHR Tirmidzi: “Menyuruhlah berbuat makruf dan mencegahlah berbuat munkar, atau kalau tidak, siksa Allah akan menimpa kepadamu. Lalu kamu memohon supaya siksa itu dihentikan, tetapi pemohonan kamu itu tidak dikabulkan Tuhan”.

“Api” Kita

M. Isa Anshary dan M. Natsir telah memberi ingat agar kita tidak diam saat melihat kemunkaran. Hamka sudah memberi nasihat, bahwa kondisi sebagai umat terbaik dapat lekas kita raih dengan urutan langkah sebagai berikut: Beriman kepada Allah, bernahi munkar, dan beramar makruf.

“Itulah tugas hidup,” seru Hamka. “Belum sanggup untuk seluruh dunia, mulailah dalam masyarakat negara sendiri. Belum sanggup untuk negara, mulailah di kampung halaman. Belum sanggup di rumah-tangga, mulailah dalam diri sendiri,” demikian nasihat Hamka (Tafsir Al-Azhar, 2003: 889). 

Jadi, mari tunaikan Ali ‘Imraan  110. Pada saat yang sama, semoga pandangan Hamka saat memberi tafsir ayat itu bisa menjadi api semangat kita. (*)

Hamka tentang Keutamaan Nahi Mungkar; Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version